PARADIGMA REINVENTING GOVERNMENT
(BAY SURYAWIKARTA, MPA., Ph.D.)[1]
I.
KONSEP
REINVENTING GOVERNMENT
Pengertian paradigma diperkenalkan
pertama kalinya oleh Thomas khun melalui tulisannya yang berjudul The
Structure of Scientific Revolutions (1970). Khn mendefinisikan paradigma
ilmiah sebagai seperangkat asumsi mengenai realitas—suatu model atau pola yang
sudah diterima—yang menjelaskan sesuatu kenyataan lebih baik dibandingkan
dengan seperangkat asumsi lainnya. Tiap paradigma ilmiah memiliki
seperangkat aturannya sendiri dan menjelaskan secara gamblang semua
fakta-faktanya. Sepanjang paradigma itu menjelaskan semua fenomena yang
diamatinya dan memecahkan masalah-masalah yang dikehendaki semua orang,
paradigma itu jadi dominan. Tetapi karena fenomena baru mulai menentangnya,
maka paradigma itu memudar sejalan dengan meningkatnya keraguan untuk
menerimanya. Jika anomali-anomali seperti ini jadi berlipat ganda, maka
paradigma itu terpuruk ke krisis kepercayaan/penerimaan.
Paradigma
baru dalam pemerintahan diperkenalkan melalui reinventing government sebagai
karya konseptual David Osborne dan Ted Gaebler yang dipublikasikan Tahun 1992,
menjadi tulisan yang masuk kategori national best seller dan disarankan oleh
Bill Clinton (Presiden USA): ”Should be read by every elected official in
America. This book gives us the blueprint.” Karya pikir ini lahir sesudah
dunia mengakhiri perang dingin yang ditandai dengan runtuhnya tembok Berlin
pada saat hendak memasuki dekade 1990-an. Itulah pertanda runtuhnya paradigma
lama tentang pemerintahan.
Apa
paradigma lama pemerintahan itu?
1.
government as something fixed;
2. something that does not change.
Padahal pada
kenyataannya pemerintahan itu secara konstan berubah. Dari sinilah timbul
paradigma ”yang tetap itu ialah perubahan, yang pasti ialah ketidakpastian.”
Dahulu,
ketika pemerintah memikul dana pabrik senjata tak seorang pun berpikit bahwa
hal itu bisa diswastakan. Kini, sebaliknya, jika pemerintah ”ngotot” mendanai
pabrik senjata maka niscaya akan menerima kritik pedas dari mayarakat. Banyak
aktivitas yang dahulu dilakukan oleh pemerintah berangkat dari paradigma lama
yang diistilahkan oleh Osborne dan Gaebler sebagai rowing the boat
[mendayung perahu] dan bukan steering [menyetir/mengemudi] sesuai dengan
arti harfiah government [asal kata dari Bhs. Latin=gubernare]
yang artinya ”memimpin/mengarahkan” dan memang pemerintah tidak sangat baik
dalam hal ”mendayung” (Savas, 1987).
Hampir
bisa disebut ”sekonyong-konyong” bahwa bidang pemerintahan dipenuhi oleh
peristilahan baru, seperti ”kemitraan pemerintah dan swasta”, ”alternatif
pemberian layanan”, ”kontrak pekerjaan”, ”pemberdayaan”, ”Mutu Manajemen
Menyeluruh”, ”manajemen partisipatif””privatisasi”, ”kehilangan bobot”.
Peristilahan mana sebelumnya dianggap ”tabu” memasuki dunia pemerintahan. Semua
gejala ini adalah apa yang oleh Khun disebut krisis paradigma yang menampilkan:
memudarnya aturan-aturan tradisional, eksprimentasi menyebar begitu cepat, dan
praktik-praktik sekali bisa diterima langsung diterapkan sebagai bagian dari
cara kerja (di bidang kepegawaian, penganggaran, penggajian guru secara
fungsional, dsb)
Terakhir
kalinya melakukan reinvent [menemukan kembali hakekat] pemerintahan
(bagi USA) ialah tahun 1900 hingga 1940. Dilakukannya tindakan tsb. berkaitan
dengan era progresif dan apa yang mereka sebut New Deal dalam rangka
mengatasi kemunculan industri baru di bidang ekonomi yang membawa-serta
problematik baru secara cepat berikut peluang-peluangnya di USA. Kini,
pemerintahan dimanapun di belahan dunia ini kembali dihadapkan pada goncangan
hebat yaitu munculnya era pasca-industri (bagi negara-negara maju), knowledge
based [segala sesuatu berbasis pengetahuan], ekonomi global, yang
kesemuanya itu telah menepis realitas-realitas lama di seluruh penjuru dunia
oleh karena telah tercipta peluang-peluang hebat dan sekaligus masalah-masalah
ancamannya. Pemerintahan berskala besar maupun kecil, Amerika Serikat maupun
asing, federal, negara bagian, dan lokal, sudah mulai merespon masalah-masalah
tsb.
Konsep reinventing
dipublikasikan dengan tujuan ganda: (1) memotret kegiatan semua pemerintahan
yang sudah mulai memasuki perjalanan baru ini, (2) menyajikan sebuah peta bagi
mereka yang mau ikut serta. Bagi mereka yangs sekarang ini meu melakukan reinventing
government terlebih dahulu mesti menyiapkan strategi pemecahan masalah,
seperti menutup defisit atau merampingkan birokrasi, seraya mereka juga siap
menghadapi dunia baru.
Pertama,
catalytic government: konsep ini memposisikan pemerintah sebagai
mediator bukan pemikul beban. Fungsi utamanya adalah mengarahkan dan bukan
mendayung/menanggung. Sebagai peberi arah, maka setiap komponen pemerintah
mesti memiliki knowledge-based yang handal. Adalah tidak mungkin menjadi nahkoda
yang baik dari suatu bahtera dengan penumpang berjuta orang berikut segala kepentingannya,
jika tidak memiliki basis pengetahuan yang mumpuni dalam bidangnya. Yang diurus
oleh pemerintah bukan memberi makan penduduknya, menyediakan fasilitas
kesehatan, pendidikan, perumahan, transportasi, dsb. tetapi mengupayakan agar
penduduk memiliki keberdayaan untuk menjangkau apa yang mereka butuhkan. Itulah
pengertian steering rather than rowing. Kebanyakan pemerintah dalam
paradigma lama mengklaim dirinya sebagai sinterklas yang pemurah, yang ratu
adil, yang membuat warga-masyarakatnya ”dungu” dan selalu menunggu pemberian.
Jadi kerja pemerintahnya melulu rowing [mendayung atau menanggung beban]
dan begitulah paradigma welfare state yang besifat charity.
Selagi sumber-sumber masih tersedia maka kerja pemerintah yang demikian itu
adalah terpuji. Tetapi sumber-sumber (daya dan dana) selalu bersifat langka (scarcity
of resources) yang jika tidak dihemat penggunaannya akan berakibat vatal
bagi kelangsungan hidup selanjutnya. Oleh karena itu, peran pemerintah bergeser
ke arah hakekat pengertiannya semula yaitu sebagai pengarah bukan penderma
seperti konsep kerajaan dengan ratu adil yang kerap kali dijadikan muatan
retorika politik.
Kedua, community-owned government:
konsep ini menjelaskan bagaimana menumbuhkan perasaan bahwa pemerintah adalah
milik masyarakat dan masyarakat merasa memiliki pemerintahnya, karena
pemerintah mampu memberdayakan masyarakatnya melalui pemberian layanan yang
menjadi tugas utamanya (empowering rather than serving). Melulu melayani
adalah sinterklas, dan melulu dilayani adalah gusti. Dua-duanya bukanlah model
pemerintahan yang reinvented sebab sama-sama membuat bodoh
masyarakatnya. Fungsi pemerintah yang reinvented adalah menjadikan setiap
sen belanja yang dikeluarkannya berdampak kepada meningkatnya keberdayaan
setiap warga masyarakat, sehingga masyarakat merasakan bahwa pemerintah sebagai
miliknya. Logikanya, bahwa setiap milik pasti disayangi bukan dimusuhi atau
dijauhi apalagi dihujat. Jadi, pemerintah yang reinvented adalah yang
didambakan masyarakatnya bukan karena pemberiannya tetapi karena kemampuannya
membangun masyarakat sehingga memeiliki keberdayaan.
Ketiga, competitive
government: konsep ini mengarahkan setiap unit pemerintahan agar
berdaya-saing dalam menjalankan layanan (injecting competition into serve
delivery). Dalam ekonomi global tidak ada lagi monopoli layanan publik. Apa
yang biasa diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat, juga bisa dilakukan
oleh pihak swasta kecuali bidang-bidang yang merupakan hak tunggal pemerintah
seperti pembuatan peraturan perundang-undangan, mata-uang, transportasi,
telekomunikasi, pos, dan yang serupa itu bisa dilakukan oleh swasta. Meski izin
tetap ada di tangan pemerintah, itu tidak berarti pemerintah bisa berbuat
semena-mena sebab semua sudah ada aturannya. Kesemena-menaan akan membuat unit
layanan umum yang dikelola pemerintah tidak berdaya-saing dan pasti akan
dijauhi oleh masyarakat.
Keempat, misson-driven government:
konsep ini menjelaskan bagaimana seharusnya pemerintah memiliki komitmen
tunggal hanya kepada missi utamanya, dan bukan kepada apapun atau siapapun.
Jangan karena demi aturan dan prosedur mussi utama tersisihkan. Aturan dan
prosedur adalah bikinan manusia yang bisa saja diubah kalau dirasakan terlalu
kaku dan tidak lagi responsif terhadap perubahan cepat yang terjadi (transforming
rule-driven organizations). Aturan dibuat untuk memperlancar bukan untuk
mempersulit sehingga organisasi dipandang sebagai hantu oleh masyarakat di
sekelilingnya. Organisasi, badan, lembaga, unit kerjasama semua itu adalah
instrumen belaka, bukan tujuan dari dibentuknya pemerintahan. Pemerintah yang
reinvented dengan semua aparaturnya harus memiliki komitmen yang kuat terhadap
missi utamanya yaitu mewujudkan keberdayaan masyarakatnya. Mewujudkan berarti
proses upaya, bukan menyajikan!
Kelima, result-oriented
government: pemerintah yang berorientasi kepada hasil ialah yang mampu
mendanai outcomes [hasil, akibat] dan bukan mendanai inputs
[masukan, bahan]. Ini berarti dana dikucurkan jika hasil atau dampak yang
terlahir punya kaitan erat dengan tugas utama suatu pemerintahan. Banyak upaya
dilakukan, terutama oleh pemerintah-pemerintah negara-negara yang sedang
berkembang yang justru semakin berdampak semakin menguatnya ketergantungan
masyarakat kepda program-program yang dilancarkan pemerintah. Pada saat dilanda
krisis dan program-program sinterklas yang berlabel pemerataan itu menyusut,
masyarakat kehilangan sumber kehidupannnya. Krisis jadi meluas menjangkau ke
lapisan grass root yang sejak semula rentan dan marjinal. Karenanya,
gejolak sosial hanyalah konsekuensi logis dari langkah-langkah proramatis yang
lebih menguatkan ketergantungan ketimbang menumbuhkan keberdayaan
masyarakatnya.
Keenam, customer-driven
government: artinya pemerintah itu ada karena dibutuhkan oleh masyarakat.
Masyarakat adalah pelanggan jasa-jasa pemerintahan. Karenanya, memenuhi
kebutuhan pelanggannya merupakan kewajiban pemerintah (meeting the needs of
the costumer) dan bukan sebaliknya yaitu birokrasi yang ingin dilayani (not
the bureaucracy). Pemerintah yang reinvented adalah yang bekerja
dengan motivasi keinginan memenuhi apa yang dibutuhkan masyarakatnya, bukan
untuk dilayani oleh masyarakatnya.
Ketujuh, enterprising government,
konsep ini menjelaskan pengembangan semangat berwirausaha dalam
menyelenggarakan pemerintahan. Ini berarti mengoptimalkan penerimaan daripada
pembelanjaan, mengukur kemampuan berdasarkan perolehan dan bukan kemampuan
belanja tanpa menghiraukan apa dan berapa perolehannya (earning rather than
spending). Semangat wirausaha jangan disalahartikan menjadi mengkomersilkan
jasa layanan pemerintah kepada masyarakat, melainkan menyajikan layanan umum
yang prima agar terbentuk umpan-balik yang sama-sama menguntungkan.
Kedelapan, anticipatory government: sifat antisipatif
terbentuk karena kemampuan melihat ke depan (look foreward). Kemampuan
antisipatif hanya mungkin jika knowledge-based dimiliki oleh setiap
aparat pemerintah, sebab hal ini berkaitan erat dengan keahlian merencanakan.
Dalam pada itu, pepatah lama “sedia payung sebelum hujan, lebih baik mencegah
daripada mengobati” ialah tamsil bagaimana kemampuan antisipatif diperlukan
oleh pemerintah yang reinvented.
Kesembilan,
decentralized government: pemerintahan yang terdesentralisasikan adalah
tuntutan reinventing government, karena di era ekonomi global efisinsi
dan produktivitas yang bisa meningkatkan kinerja. Sentralisasi
sangat tidak efisien, boros dan kontra-produktif karena urusan yangs semakin
kompleks hanya akan membuat hubungan Pusat-Daerah-Lokal jadi panjang
berjenjang. Sebaliknya, desentralisasi dapat mendorong berkembangnya
partisipasi dan terbentuknya kerja-tim (from hierarchy to participation and
teamwork). Pusat (federal) tidak harus merasa tahu semua. Apa yang lebih
efisien dan produktif dikerjakan oleh Daerah dan Lokal, tidak perlu ditangani
Pusat. Apa yang lebig efisien dan produktif dikerjakan oleh swasta, jangan
digarap oleh pemerintah kecuali jika yang dikerjakan oleh pemerintah itu lebih
kompetitif dibandingkan dengan produk kerja swasta.
Kesepuluh, market-oriented
government: konsep ini menjelaskan setiap produk kerja dari pemerintahan
baik barang, jasa, maupun informasi mesti berorientasi pasar. Artinya, dasar
kebijakan pemerintah untuk melakukan sesuatu mesti diorientasikan kepada apa
yang diminta oleh pasar. Pasar harus diartikan sebagai masyarakat terbuka,
dimana proses transaksi terjadi karena ada interaksi yang merdeka diantara
anggotanya. Misalnya, kebijakan bidang pendidikan sebagai supplier SDM
harus diarahkan kepada lapangan kerja yang memerlukan. Kurikulum pembentuk knowledge-based
diperkuat, tetapi tidak mengabaikan aspek terapannya pada dunia nyata. Contoh
lain adalah jasa transportasi yang disediakan dan dikelola oleh pemerintah
hendaknya yang bersifat angkutan banyak penumpang dan banyak barang.
Kereta-api, kapal laut, bis-kota adalah marketable karena yang
membutuhkannya bersifat massal. Sedangkan pesawat-udara, taxi, bis antar kota
jauh lebih efisien dan produktif bila diselenggarakan oleh swasta, karena
sifatnya optional. Bagi pemerintah Daerah dan Lokal, menyelenggarakan
usaha air bersih dan bis kota jauh lebih marketable daripada
mengusahakan bank, industri makanan dan minuman, rumah sakit derah, dan sarana
hiburan.
Kesepuluh konsepsi itu disebut oleh
Osborne dan Gaebler (1992) sebagai sepuluh prinsip yang jika disatukan
penerapannya bisa menimbulkan efek sinerji baik dalam penyelenggaraan layanan
kesehatan, pendidikan, maupun penanganan kriminalitas. Kesepuluh prinsip itu
menggeser model dasar pemerintahan yangs elama ini diterapkan di USA, dan tidak
mustahil juga di banyak negara maju lainnya. Model dasar itu telah menumbuhkan
anggapan bahwa semua pemerintahan itu mesti berskala besar, sentralistik, dan
birokratis. Model begini juga ditiru oleh banyak negara sedang berkembang,
termasuk Indonesia.
Menutup tulisannya, Osborne dan
Gaebler mengutip wawancaranya dengan John Bryson, seprang ilmuwan politik dari
University of Minnesota, sebagai berikut:
In the past, we let markets work
until they failed; then we responded with public bureaucracies. We’re
struggling to figure out a new way, somewhere between markets and public
bureaucracy. So far, there’s no theoru guilding it. People don’t have a real
clear idea of why past practice aren’t working, or what a new model might be.
So they can’t learn from success of failure: there is no theoretical framework
people can use to imagine their experiences.
[Dahulu, kita membiarkan pasar
berperan hingga akhirnya gagal; lalu kita beralih ke birokrasi-birokrasi
publik. Kita sedang berjuang untuk mencari cara baru antara pasar
dan birokrasi. Sebegitui jauh, tak ada teori yang membimbingnya. Banyak orang
tidak punya jawaban yang jelas tentangmengapa praktik-praktik di masa lalau
macet, atau model baru apa barangkali (jika ada). Sehingga mereka bisa belajar
dari keberhasikan dan kegagalan: tidak ada kerangka teoretis yang bisa
digunakan banyak orang untuk membayangkan pengalaman-pengalaman mereka]
Apa yang paling
diperlukan dari perubahan besar ialah keberhasilan. Dengan perkataan lain,
ialah adanya suatu kerangkan kerja baru untuk memahami pemerintahan, suatu cara
berpikit baru mengenai pemerintahan. Singkatnya, suatu paradigma baru.
II.
KEMUNGKINAN TRANSFORMASI SEMANGAT
KEWIRAUSAHAAN
PADA SEKTOR
PUBLIK
Semangat
kewirausahaan hanya salah satu saja dari sepuluh prinsip yang tercakup dalam reinventing
government, yakni prinsip yang ketujuh: enterprising government: earning
rather than spending berarti mengoptimalkan penerimaan daripada
pembelanjaan, mengukur kemampuan berdasarkan perolehan dan bukan kemampuan
belanja tanpa menghiraukan apa dan berapa perolehannya. Memang jika dikaji
secara menyeluruh dan terpadu, kesepuluh prinsip yang diketengahkan oleh
Osborne dan Gaebler itu berintikkan semangat wirausaha. Pemerintah yang
hanya memikul beban (mendayung) saja tanpa mampu mengarahkan masyarakatnya
untuk “motekar”2) akan terus menanggung risiko yang semakin berat. Pemerintah
yang tidak mampu menumbuhkan rasa memiliki kepada warga masyarakatnya, karena
selalu memelihara jarak dengan masyarakat yang harus diberi layanan dan selalu
memposisikan diri sebagai “gusti” niscaya akan dijauhi oleh warga
masyarakatnya. Pemerintah yang perangkat kerjanya tidak kompetitif
karena terfokus kepada hal-hal rutin dan tidak biasa menghadapi dan mengatasi
tantangan, akan ditinggalkan atau paling tidak akan diabaikan oleh
masyarakatnya. Pemerintah yang melulu disetir oleh aturan dan berprinsip
demi konstitusi meski harus mengabaikan misi utamanya, akan kehilangan
legitimasi rakyatnya. Pemerintah yang lebih suka mendanai inputs
(Contoh di Indonesia: rekapitalisasi bank-bank sakit) dan mereduksi dana yang
jelas-jelas outcomes-nya. “di depan hidung” (Contoh di Indonesia:
meniadakan subsidi pupuk, menurunkan bea ekspor Crude Palm Oil/CPO sehingga
produsen terdorong mengekspor demi devisa dan, karenanya, mengabaikan pasar
domestik) akan berakhir dengan “menggantang asap”. Pemerintah yang
birokrasinya ingin dilayani oleh masyarakat ketimbang melayani masyarakat akan
ditinggalkan oleh masyarakatnya, dalam arti wibawanya jatuh karena “amplop”. Pemerintah
yang lebih mengutamakan perhitungan belanja (ongkos) daripada menghitung
penerimaan, akan selalu berhutang alias defisit; yang demikian ini tidak
berjiwa wirausaha. Pemerintah yang daya antisipasinya rendah akan selalu
menanggung risiko, dan bukan memetik manfaat dari “sedia payung sebelum hujan”.
Pemerintah yang sentralistik akan menanggung akibat keserekahannya pada
saat kemampuan mengelola mulai merosot. Pemerintah yang bekerja tanpa
menghiraukan (tidak tanggap) perubahan-perubahan yang terjadi dengan cepat di
sekelilingnya (pasar = masyarakat), akan memudar dan kehilangan wibawa.
2) Bhs.
Sunda, yang artinya berinisiatif/berprakarsa.
Untuk
menghindarkan diri dari risiko seperti diuraikan di atas, maka (1) para
pimpinan nasional pemerintahan jangan menjadi bingung oleh terjadinya perubahan
cepat di masyarakat sebagai dampak ekonomi global dan kecepatan informasi, (2)
politik secara nasional harus bisa dimengerti, bukan membingungkan rakyat, (3)
rakyat menghendaki semua masalah diselesaikan jika paradigma lama sudah tidak
efektif lagi, (4) partai-partai jangan hanya memperdebatkan isu-isu yang tidak
membawa manfaat bagi pemilihnya, (5) hindari krisis paradigma di segala aspek
kehidupan melalui proses pencerahan.
Mentransformasikan
semangat wirausaha ke dalam sektor publik tidak semudah membalik telapak
tangan, karena sudah terlalu lama sektor publik terbelenggu formalisme yang
menjadikannya kaku dan beku. Menumbuhkan sikap wirausaha terhadap birokrat dan
birokrasi dalam melayani masyarakat bisa berangkat dari individu pegawai,
kelompok, organisasi, dan antar organisasi. Tapi satu hal yang selama ini
diabaikan ialah bahwa birokrat dan birokrasi tidak merasa dibiayai oleh rakyat,
tapi digaji oleh pemerintah. Karenanya, ada semacam jarak dengan rakyat (gusti
vs. kawula). Rasionalitas birokrasi telah tergeser oleh interpretasi keliru
mengenai konsep “berwibawa”. Menial “abdi dalem” sudah terlanjur menguat,
sehingga sulit untuk diubah menjadi mental “wirausaha” yang kreatif, inovatif, risk
taker, dan PEM3 (profesional, efisien, mampu memberdayakan masyarakat).
Dengan perkataan lain, akan dibutuhkan waktu yang cukup panjang untuk
mewujudkan lima sikap/pendirian yang disebutkan di atas. Dalam konteks inilah
reformasi seharusnya bisa lebih memacu proses transformasi tersebut, meski
tampaknya sulit dan tersendat-sendat.
Tapi
sulit bukan berarti mustahil, karena masih banyak birokrat yang memiliki daya kreasi,
inovasi. berani ambil risiko dan bekerja memenuhi persyaratan PEM3. Kepada
birokrat seperti ini --bisa diketahui lewat talent scolding-- perlu
ditumbuhkan iklim kerja yang kondusif bagi terwujudnya mental “wirausaha” yang
disebutkan tadi. Caranya ialah fungsi dan tugas pokok dirinci secara
operasional dan didistribusikan kepada satuan-satuan kerja secara seimbang.
Penugasan diberikan atas dasar pertimbangan kemampuan, bukan atas dasar yang
lain-lain. Pemantauan atas pelaksanaan tugas dilakukan secara tetap dan
sinambung. Jangan dibiarkan swasta menerabas birokrasi, sekali hal ini terjadi
akan berlanjut menjadi kebiasaan, dan lambat laun wibawa birokrasi mengalami
erosi. Ini adalah bagian dari lima strategi penerapan reinventing
(Osborne and Plastrik, 1997) yang lazim disebut organizational learning
process.
Sedangkan
peluang eksternal meliputi:
1.
Adanya kebijakan (policy) yang diarahkan
kepada pembentukan aparat yang memenuhi persyaratan PEM3.
2.
Adanya kontrol masyarakat (misalnya:
media massa) yang konstruktif bagi terbentuknya aparat birokrasi yang memenuhi
persyaratan PEM3.
3.
Berkembangnya persaingan layanan umum
yang disajikan oleh swasta pada bidang-bidang yang bukan monopoli pemerintah,
seperti yang dilakukan oleh LSM dan Konsultan di bidang pendanaan, penyuluhan
pertanian, perikanan, peternakan, kehutanan, kegiatan konstruksi, pendidikan,
kesehatan, industri air minum, dsb.
4.
Optimalisasi pemanfaatan kerja sama
dengan perguruan-perguruan tinggi dan organisasi-organisasi profesi.
5.
Kemitraan pemerintah swasta (public
private partnership) dalam bidang-bidang layanan tertentu baik melalui:
a.
kontrak penuh
b.
kontrak manajemen
c.
waralaba (franchising)
d.
koperasi
e.
vouchers (kupon
berhadiah)
6.
Investasi publik-privat dalam prasarana
umum (public utilities) seperti lapangan parkir, taman rekreasi.
prasarana olahraga, gedung kesenian, dsb. yang memiliki earning capacity.
7.
Revitalisasi BUMD melalui perbaikan
manajemen dan penerapan PEM3.
8.
Menerapkan ODD (outsourcing,
delayering, downsizing) pada semua tingkatan birokrasi Daerah termasuk BUMD
bagi terwujudnya PEM3.
9.
Menghidupkan kembali RAKGANTANG dan
CENTRA MASEKDAS sebagai dorongan bagi terbangunnya partisipasi aktif
masyarakat. Caranya dengan mengaktifkan Karang Taruna dan para Kader
Pembangunan Desa dalam rangka AMD.
10. Memperluas
dan mengintensifkan sosialisasi gerakan kesetiakawanan sosial, mulai dari
KEMITRAAN USAHA KECIL, SARASA, REREONGAN SARUPI, hingga GDN dan JUM’AT BERSIH.
Peluang-peluang mi
sebenarnya sudah tergelar lama, hanya saja terabaikan karena tidak dimotivasi
ke arah pemberdayaan masyarakat melainkan didorong oleh keharusan
melindungi.
mengayomi, mengatur (terkadang over regulated seperti di DKI-Jakarta
dengan operasi yustisinya). Birokrasi tidaklah salah untuk melindungi,
mengayomi, melayani dan mengatur masyarakat sebab memang diadakan untuk itu.
Yang tidak baik dari kegiatan melindungi, mengayomi, melayani dan mengatur itu
ialah menguatnya ketergantungan masyarakat kepada birokrasi (pemerintah) dan
keberdayaan (inisiatif, kemandirian) jadi melemah. Ketika sumber-sumber publik
masih melimpah, persoalan akan perlunya keberdayaan masyarakat belum mencuat ke
permukaan. Kita dimanjakan oleh oil boom, ekspor kayu gelondongan (log,
lumbers). Kini di saat migas tidak lagi menjanjikan pemasukan devisa, dan
kontrol terhadap lingkungan hidup semakin mendunia maka isu keberdayaan (empowerment)
masyarakat, jadi bergema di mana-mana.
III.
STRATEGI TRANSFORMASI SEMANGAT
KEWIRAUSAHAAN
Di atas
sudah diuraikan peluang-peluang internal dan eksternal yang ada bagi penumbuhan
semangat kewirausahaan di sektor publik. Untuk mewujudkannya diperlukan
strategi bagi bekerjanya organizational learning process (Osborne and
Plastrik, 1997). Proses belajarnya organisasi harus didekati dari sisi strategic
management (Wheelen and Hunger, 1989:7), yakni “that set of managerial
decisions and actions that determines the longterm performance of a corporation”.
Artinya perlu ada seperangkat keputusan yang dijadikan dasar kebijakan
bertindak untuk menentukan kinerja ke organisasian.
Ada lima
langkah strategis yang perlu dilakukan untuk mentransformasikan semangat
kewirausahaan di sektor publik (Osborne and Plastrik, 1997:39) yang
disebut the five C’s, sebagai berikut:
The Five C’s
[Lima C]
|
||
Lever
[Pendongkrak]
|
Strategy
[Strategi]
|
Approaches
[Pendekatan-pendekatan]
|
Purpose
[Tujuan]
Incentives
[Intensif-intensif]
|
Core Strategy
[Strategi inti]
Consequences Strategy [Strategi thd konsekuensi2]
|
Clarity of Purpose [Kejelasan tujuan]
Clarity of Role [Kejelasan peran]
Clarity of Directions [Kejelasan arah]
Managed competition [Kompetisi terkelola]
Enterprise Management [Manajemen usaha]
Performance Afanagement [Manajemen kinerja]
|
Accountability
[Akuntabilitas]
Power [Kekuatan]
Culture [Kultur/Budaya]
|
Control Strategy
[Strategi pengendalian]
Culture Strategy
[Strategi pengendalian]
Culture Strategy
[Strategi budaya]
|
Customer choice [Pilihan pelanggan]
Competitive choice [Pilihan kompetitif]
Customer quality assurance
[Jaminan mutu bagi pelanggan]
Organizational [Keorganisasian]
Empowererment [Pemberdayaan]
Employee empowerment [Pemberdayaan peg.]
Community empowerment [Pemberdayaan masy.]
Breaking habits [Mencairkan kebiasaan2]
Touching hearts [Sambung rasa]
Winning Minds [Berpikir optimis]
|
Filosofinya
ialah bahwa semua organisasi (organisms = makhluk hidup,) dibentuk oleh
DNA3-nya masing-masing. yang dalam konteks organisasi sebagai
entitas sosial berupa: perintah-perintah yang termodifikasi yang menentukan
siapa dan apa organisasi itu. DNA itu menyediakan hal yang paling mendasar
yaitu --sekali lagi dalam konteks organisasi sebagai entitas sosial--
instruksi-instruksi yang amat berpengaruh terhadap pengembangan daya tahan
kemampuan dan perilaku suatu entitas sosial.
Strategi
Inti :
Ini merupakan
bagian pertama DNA yang penting dalam menentukan tujuan dari sistem
(organisasi) publik dan aneka organisasi. Jika suatu organisasi tidak jelas
tujuannya, atau bertujuan ganda dan saling bertentangan, maka tidak akan pernah
mencapai kinerja yang tinggi. Seumpama orang berjalan yang tak tentu arah, maka
jalan itulah yang akan membawanya ke mana-mana. Strategi ini disebut inti
karena bersangkut-paut dengan fungsi utama suatu organisasi/lembaga (misalnya:
badan-badan pemerintahan) yakni fungsi mengarahkan. Sedangkan empat strategi
lainnya berfokus pada menyempurnakan fungsi mendayung/memikul beban.
Strategi
menghadapi konsekuensi-konsekuensi :
Kunci bagian
kedua dari DNA-nya organisasi/badan/lembaga/institusi menentukan
insentif/dorongan/rangsangan yang dibangun dalam sistem (organisasi) publik.
DNA-nya birokrasi memberikan kepada para pegawainya dorongan yang sangat kuat
untuk taat dan patuh kepada aturan. Inovasi dianggap pembawa kerunyaman,
sebaliknya status-quo menjanjikan imbalan/ganjaran setiap saat.
3) DNA =
Deoxyribo Nucleic Acid adalah zat nucleic acid yang merupakan unsur kimia
pembentuk utama chromosomes menjadi sel-sel yang terdiri atas dua mata rantai
panjang unit-unit fosfat dan gula yang berputar melilit menjadi suatu spiral
ganda bersama hidrogen terikat dalam untaian yang menentukan keturunan dan
karakter individu.
Para pegawai
digaji sama tanpa memperdulikan hasil yang mereka perlihatkan. Dan kebanyakan
organisasi seperti birokrasi itu bersifat monopolistik --setidak-tidaknya dekat
ke arah sifat itu--yakni dibungkus kegagalannya. Tidak seperti
perusahaan-perusahaan swasta, yang tidak mungkin mau rugi atau lengser dari
bisnisnya. jika persaingan berlangsung baik.
Para ahli reinventing
melakukan penulisan ulang semua aturan dasar untuk mengubah
insentif/rangsangan/dorongan model begitu dengan menciptakan konsekuensi-konsekuensi/akibat-akibat
bagi kinerja. Jika memang cocok, para ahli itu menempatkan
organisasi-organisasi publik di tengah pasar dan membuatnya tergantung kepada
pelanggan guna meraih pendapatannya. Jika tidak cocok, maka diterapkan model
kontrak guna menciptakan daya saing antara publik dan privat/swasta, dan hal
seperti ini pernah dicontohkan oleh Inggris yang kemudian ditiru oleh Selandia
Baru.
Strategi
menghadapi pelanggan :
Bagian mendasar
berikutnya dari DNA-nya suatu organisasi ialah akuntabilitas
(tanggung-gugat): secara khusus. kepada siapa suatu organisasi
bertanggung-gugat? (Persisnya, kelima strategi yang disebutkan di atas
menyentuh isu akuntabilitas. Misalnya strategi inti, menjelaskan untuk
apa suatu organisasi mesti bertanggung-gugat: kemudian strategi
menghadapi konsekuensi-konsekuensi menyatakan bagaimana organisasi
diselenggarakan secara bertanggung-gugat; strategi
pengendalian/pengawasan berdampak pada penentuan siapa yang bertanggung-gugat;
dan strategi budaya membantu para pegawai menghayati masing-masing tanggung-gugatnya.
Justru dengan menjadikan organisasi bertanggung-gugat terhadap para
pelanggannya, strategi menghadapi pelanggan itulah yang paling kuat
keterikatannya dengan isu tanggung-gugat.
Strategi
pengendalian/pengawasan :
Bagian DNA
keempat yang penting ini menentukan di mana kekuasaan pembuat keputusan berada.
Dalam sistem birokratis. hampir semua kekuasaan berada dekat dengan hierarki
puncak. Dalam demokrasi. kekuasaan berangkat dari warga negara ke arah pejabat
negara yang dipilih kemudian menuju ke staf lembaga/badan-badan pusat seperti
jabatan-jabatan di bidang anggaran dan kepegawaian; akhirnya dari kendali
badan-badan pusat itu meluncur melalui garis komando ke para manajer/pimpinan
pelaksana. Biasanya, para pejabat negara yang dipilih berusaha sedapat mungkin
memegang kekuasaan sebanyak/sebesar-besarnya. dan badan-badan pengendali pusat
memandu kekuasaan para pejabat pilihan tadi meski dengan rasa iri. Kewenangan
struktural para manajer/pimpinan pelaksana kerap kali dihadapkan kepada pilihan
terbatas sehingga fleksibilitasnya terhambat misalnya oleh instruksi-instruksi njelimet
mengani anggaran, aturan-aturan kepegawaian, sistem pembelanjaan,
praktek-praktek audit/pemeriksaan, dsb. Para pegawai hampir semuanya tak berdaya
untuk memutuskan. Ujung-ujungnya, badan/lembaga/organisasi pemerintah
menjawabnya dengan menerbitkan aturan-aturan baru daripada mengubah situasi
atau memenuhi tuntutan pelanggan.
Strategi
budaya :
Bagian paling
akhir DNA suatu organisasi (sebagai entitas sosial) menunjuk pada kultur
organisasi publik: seperangkat nilai, norma, sikap, dan harapan-harapan para
pegawainya. Budaya dibentuk secara kuat oleh yang tersisa dari DNA: oleh tujuan
organisasi, insentif-insentifnya, sistem akuntabilitasnya. struktur
kekuasaannya. Perubahan yang terjadi pada semuanya akan berakibat berubahnya
kultur/budaya. Tapi budaya tidak selalu berubah hanya karena pimpinan
organisasi menghendakinya karena pada suatu saat ia jadi mengeras dan bertahan
atau bahkan jadi “berang”. Kerap kali dengan sangat perlahan ia berubah demi
memuaskan pelanggan/masyarakat dan sekaligus para pemutus kebijakan. Karenanya,
kita menemukan bahwa sebenarnya setiap organisasi yang telah menggunakan empat
C lainnya, juga pada dasarnya telah memutuskan bahwa ia memerlukan suatu ke
hati-hatian dalam mengampanyekan penulisan ulang aturan-aturan dasar yang telah
membentuk budayanya.
DNA
organisasi yang disebut strategi budaya ini relevan dengan pergantian dari orde
baru Soeharto administration ke orde reformasi. Kelihatan sekali pemerintah
Kabinet Reformasi model kepemimpinan Habibie amat berhati-hati dalam melakukan
langkah-langkah reformasi, karena amat disadari bahwa kultur yang telah
terbangun lebih dari 30 tahun oleh rezim Soeharto sudah mengeras dan bertahan
atau bahkan “berang” jika tiba-tiba harus diubah. Misalnya saja untuk memenuhi
apa yang dikonsepsikan oleh Bannishing Bureaucracy (Osborne and
Plastrik, 1997) seperti berikut:
·
The new laws separated policy-making or
steering functions from rowing functions. [Undang-undang
yang baru memisahkan pembuatan kebijakan atau fungsi-fungsi mengarahkan dari
fungsi-fungsi mendayung/menanggung beban].
·
Ministers would negotiate performance
agreements with all departments and ministries, which would agree to produce a
specified quantity and quality of outputs at a specified price. [Para
menteri mau merundingkan persetujuan-persetujuan mengenai kinerja dengan semua
departemen dan kementrian. di mana disepakati untuk menghasilkan
keluaran-keluaran dengan jumlah, mutu dan harga yang sudah ditentukan].
·
The senior civil servant running each
department or ministry would work on a fixed-term performance contract, rather
than having permanent tenure. [PNS senior yang menggerakkan tiap
departemen atau kementrian mau bekerja atas dasar suatu kontrak kinerja yang
pasti jangka waktunya ketimbang punya jabatan tetap].
·
The new chief executives would have the
freedom to manage their organizations’ resources. [Para CEO baru
hendaknya punya kebebasan mengelola sumber-sumber organisasinya].
·
Departments and ministries were given
incentives to manage their finances effectively. [Semua
departemen dan kementrian diberi insentif untuk mengelola keuangannya secara
efektif].
·
The role and function of central
administrative agencies changed. (Peran dan fungsi badan-badan
administratif pusat berubah].
Jawabnya,
barangkali yang stereotype, “reformasi bukanlah revolusi, apalagi
anarki!” Tapi siapa tahu di balik yang stereotype itu muncul nostalgia
nikmatnya kekuasaan lama yang banjir KKN.
Bandung,
10 Februari 1999
SUMBER
ACUAN
Khun,
Thomas S. 1970. The Structure of Scientific Revolutions. Second Ed.,
Enlarged. Chicago: The University of Chicago Press.
Nonaka,
Ikujiro., Hirotaka Takeuchi. 1995. The Knowledge-Creating Company. New
York: Oxford University Press.
Osborne,
David and Ted Gaebler. 1992. Reinventing Government: How the entrepreneurial
spirit is transforming the public sector. New York: Addison-Wesley
Publishing Company, Inc.
and Peter Plastrik. 1997. Banishing
Bureaucracy: The Five Strategies for Reinventing Government. New York:
Addison-Wesley Publishing Company, Inc.
Roth,
Gabriel. 1987. The Private Provision of Public Services in Developing
Countries. EDI Series in Economic Development. Published for the World
Bank, Oxford University Press.
Ruswita, Atang (Ed.). 1997. Bunga Rampai
Pemberdayaan Masyarakat Jawa Barat. Bandung: PT.Granesia.
Thayer,
Frederick C. 1981. An End To Hierarchy & Competition: Administration in
the Post-Affluent World. New York: Franklin Watts.
Wheelen,
Thomas L, J. David Hunger. 1989. Strategic Management and Business Policy.
Third Ed. Reading, Massachusetts: Addison-Wesley Publishing Company.
[1]
Dosen
FISIP-UNPAD, Program Pascasarjana UNPAD, Program Pascasarjana ITB Program Studi
Pembangunan. Makalah disiapkan atas permintaan Dekan FISIP-UNPAD dengan suratnya No.
0069/JO6.6.FISIP/PL/99 tertgl. 26 Januari 1999 dalam rangka ”Pembekalan
Peningkatan Kinerja Pembantu Bupati/Walikotamadya se-Indonesia” dari bulan
Februari hingga Maret 1999.
1 komentar:
nice share,,,
Posting Komentar