Search

Selasa, 01 Oktober 2013

Paradigma Reinventing Government

PARADIGMA REINVENTING GOVERNMENT
(BAY SURYAWIKARTA, MPA., Ph.D.)[1]

I.        KONSEP REINVENTING GOVERNMENT
Pengertian paradigma diperkenalkan pertama kalinya oleh Thomas khun melalui tulisannya yang berjudul The Structure of Scientific Revolutions (1970). Khn mendefinisikan paradigma ilmiah sebagai seperangkat asumsi mengenai realitas—suatu model atau pola yang sudah diterima—yang menjelaskan sesuatu kenyataan lebih baik dibandingkan dengan seperangkat asumsi lainnya. Tiap paradigma ilmiah memiliki seperangkat aturannya sendiri dan menjelaskan secara gamblang semua fakta-faktanya. Sepanjang paradigma itu menjelaskan semua fenomena yang diamatinya dan memecahkan masalah-masalah yang dikehendaki semua orang, paradigma itu jadi dominan. Tetapi karena fenomena baru mulai menentangnya, maka paradigma itu memudar sejalan dengan meningkatnya keraguan untuk menerimanya. Jika anomali-anomali seperti ini jadi berlipat ganda, maka paradigma itu terpuruk ke krisis kepercayaan/penerimaan.
Paradigma baru dalam pemerintahan diperkenalkan melalui reinventing government sebagai karya konseptual David Osborne dan Ted Gaebler yang dipublikasikan Tahun 1992, menjadi tulisan yang masuk kategori national best seller dan disarankan oleh Bill Clinton (Presiden USA): ”Should be read by every elected official in America. This book gives us the blueprint.” Karya pikir ini lahir sesudah dunia mengakhiri perang dingin yang ditandai dengan runtuhnya tembok Berlin pada saat hendak memasuki dekade 1990-an. Itulah pertanda runtuhnya paradigma lama tentang pemerintahan.
Apa paradigma lama pemerintahan itu?
1.      government as something fixed;
2.      something that does not change.
Padahal pada kenyataannya pemerintahan itu secara konstan berubah. Dari sinilah timbul paradigma ”yang tetap itu ialah perubahan, yang pasti ialah ketidakpastian.”
Dahulu, ketika pemerintah memikul dana pabrik senjata tak seorang pun berpikit bahwa hal itu bisa diswastakan. Kini, sebaliknya, jika pemerintah ”ngotot” mendanai pabrik senjata maka niscaya akan menerima kritik pedas dari mayarakat. Banyak aktivitas yang dahulu dilakukan oleh pemerintah berangkat dari paradigma lama yang diistilahkan oleh Osborne dan Gaebler sebagai rowing the boat [mendayung perahu] dan bukan steering [menyetir/mengemudi] sesuai dengan arti harfiah government [asal kata dari Bhs. Latin=gubernare] yang artinya ”memimpin/mengarahkan” dan memang pemerintah tidak sangat baik dalam hal ”mendayung” (Savas, 1987).
Hampir bisa disebut ”sekonyong-konyong” bahwa bidang pemerintahan dipenuhi oleh peristilahan baru, seperti ”kemitraan pemerintah dan swasta”, ”alternatif pemberian layanan”, ”kontrak pekerjaan”, ”pemberdayaan”, ”Mutu Manajemen Menyeluruh”, ”manajemen partisipatif””privatisasi”, ”kehilangan bobot”. Peristilahan mana sebelumnya dianggap ”tabu” memasuki dunia pemerintahan. Semua gejala ini adalah apa yang oleh Khun disebut krisis paradigma yang menampilkan: memudarnya aturan-aturan tradisional, eksprimentasi menyebar begitu cepat, dan praktik-praktik sekali bisa diterima langsung diterapkan sebagai bagian dari cara kerja (di bidang kepegawaian, penganggaran, penggajian guru secara fungsional, dsb)
Terakhir kalinya melakukan reinvent [menemukan kembali hakekat] pemerintahan (bagi USA) ialah tahun 1900 hingga 1940. Dilakukannya tindakan tsb. berkaitan dengan era progresif dan apa yang mereka sebut New Deal dalam rangka mengatasi kemunculan industri baru di bidang ekonomi yang membawa-serta problematik baru secara cepat berikut peluang-peluangnya di USA. Kini, pemerintahan dimanapun di belahan dunia ini kembali dihadapkan pada goncangan hebat yaitu munculnya era pasca-industri (bagi negara-negara maju), knowledge based [segala sesuatu berbasis pengetahuan], ekonomi global, yang kesemuanya itu telah menepis realitas-realitas lama di seluruh penjuru dunia oleh karena telah tercipta peluang-peluang hebat dan sekaligus masalah-masalah ancamannya. Pemerintahan berskala besar maupun kecil, Amerika Serikat maupun asing, federal, negara bagian, dan lokal, sudah mulai merespon masalah-masalah tsb.
Konsep reinventing dipublikasikan dengan tujuan ganda: (1) memotret kegiatan semua pemerintahan yang sudah mulai memasuki perjalanan baru ini, (2) menyajikan sebuah peta bagi mereka yang mau ikut serta. Bagi mereka yangs sekarang ini meu melakukan reinventing government terlebih dahulu mesti menyiapkan strategi pemecahan masalah, seperti menutup defisit atau merampingkan birokrasi, seraya mereka juga siap menghadapi dunia baru.
Pertama, catalytic government: konsep ini memposisikan pemerintah sebagai mediator bukan pemikul beban. Fungsi utamanya adalah mengarahkan dan bukan mendayung/menanggung. Sebagai peberi arah, maka setiap komponen pemerintah mesti memiliki knowledge-based yang handal. Adalah tidak mungkin menjadi nahkoda yang baik dari suatu bahtera dengan penumpang berjuta orang berikut segala kepentingannya, jika tidak memiliki basis pengetahuan yang mumpuni dalam bidangnya. Yang diurus oleh pemerintah bukan memberi makan penduduknya, menyediakan fasilitas kesehatan, pendidikan, perumahan, transportasi, dsb. tetapi mengupayakan agar penduduk memiliki keberdayaan untuk menjangkau apa yang mereka butuhkan. Itulah pengertian steering rather than rowing. Kebanyakan pemerintah dalam paradigma lama mengklaim dirinya sebagai sinterklas yang pemurah, yang ratu adil, yang membuat warga-masyarakatnya ”dungu” dan selalu menunggu pemberian. Jadi kerja pemerintahnya melulu rowing [mendayung atau menanggung beban] dan begitulah paradigma welfare state yang besifat charity. Selagi sumber-sumber masih tersedia maka kerja pemerintah yang demikian itu adalah terpuji. Tetapi sumber-sumber (daya dan dana) selalu bersifat langka (scarcity of resources) yang jika tidak dihemat penggunaannya akan berakibat vatal bagi kelangsungan hidup selanjutnya. Oleh karena itu, peran pemerintah bergeser ke arah hakekat pengertiannya semula yaitu sebagai pengarah bukan penderma seperti konsep kerajaan dengan ratu adil yang kerap kali dijadikan muatan retorika politik.
 Kedua, community-owned government: konsep ini menjelaskan bagaimana menumbuhkan perasaan bahwa pemerintah adalah milik masyarakat dan masyarakat merasa memiliki pemerintahnya, karena pemerintah mampu memberdayakan masyarakatnya melalui pemberian layanan yang menjadi tugas utamanya (empowering rather than serving). Melulu melayani adalah sinterklas, dan melulu dilayani adalah gusti. Dua-duanya bukanlah model pemerintahan yang reinvented sebab sama-sama membuat bodoh masyarakatnya. Fungsi pemerintah yang reinvented adalah menjadikan setiap sen belanja yang dikeluarkannya berdampak kepada meningkatnya keberdayaan setiap warga masyarakat, sehingga masyarakat merasakan bahwa pemerintah sebagai miliknya. Logikanya, bahwa setiap milik pasti disayangi bukan dimusuhi atau dijauhi apalagi dihujat. Jadi, pemerintah yang reinvented adalah yang didambakan masyarakatnya bukan karena pemberiannya tetapi karena kemampuannya membangun masyarakat sehingga memeiliki keberdayaan.
Ketiga, competitive government: konsep ini mengarahkan setiap unit pemerintahan agar berdaya-saing dalam menjalankan layanan (injecting competition into serve delivery). Dalam ekonomi global tidak ada lagi monopoli layanan publik. Apa yang biasa diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat, juga bisa dilakukan oleh pihak swasta kecuali bidang-bidang yang merupakan hak tunggal pemerintah seperti pembuatan peraturan perundang-undangan, mata-uang, transportasi, telekomunikasi, pos, dan yang serupa itu bisa dilakukan oleh swasta. Meski izin tetap ada di tangan pemerintah, itu tidak berarti pemerintah bisa berbuat semena-mena sebab semua sudah ada aturannya. Kesemena-menaan akan membuat unit layanan umum yang dikelola pemerintah tidak berdaya-saing dan pasti akan dijauhi oleh masyarakat.
            Keempat, misson-driven government: konsep ini menjelaskan bagaimana seharusnya pemerintah memiliki komitmen tunggal hanya kepada missi utamanya, dan bukan kepada apapun atau siapapun. Jangan karena demi aturan dan prosedur mussi utama tersisihkan. Aturan dan prosedur adalah bikinan manusia yang bisa saja diubah kalau dirasakan terlalu kaku dan tidak lagi responsif terhadap perubahan cepat yang terjadi (transforming rule-driven organizations). Aturan dibuat untuk memperlancar bukan untuk mempersulit sehingga organisasi dipandang sebagai hantu oleh masyarakat di sekelilingnya. Organisasi, badan, lembaga, unit kerjasama semua itu adalah instrumen belaka, bukan tujuan dari dibentuknya pemerintahan. Pemerintah yang reinvented dengan semua aparaturnya harus memiliki komitmen yang kuat terhadap missi utamanya yaitu mewujudkan keberdayaan masyarakatnya. Mewujudkan berarti proses upaya, bukan menyajikan!
            Kelima, result-oriented government: pemerintah yang berorientasi kepada hasil ialah yang mampu mendanai outcomes [hasil, akibat] dan bukan mendanai inputs [masukan, bahan]. Ini berarti dana dikucurkan jika hasil atau dampak yang terlahir punya kaitan erat dengan tugas utama suatu pemerintahan. Banyak upaya dilakukan, terutama oleh pemerintah-pemerintah negara-negara yang sedang berkembang yang justru semakin berdampak semakin menguatnya ketergantungan masyarakat kepda program-program yang dilancarkan pemerintah. Pada saat dilanda krisis dan program-program sinterklas yang berlabel pemerataan itu menyusut, masyarakat kehilangan sumber kehidupannnya. Krisis jadi meluas menjangkau ke lapisan grass root yang sejak semula rentan dan marjinal. Karenanya, gejolak sosial hanyalah konsekuensi logis dari langkah-langkah proramatis yang lebih menguatkan ketergantungan ketimbang menumbuhkan keberdayaan masyarakatnya.
            Keenam, customer-driven government: artinya pemerintah itu ada karena dibutuhkan oleh masyarakat. Masyarakat adalah pelanggan jasa-jasa pemerintahan. Karenanya, memenuhi kebutuhan pelanggannya merupakan kewajiban pemerintah (meeting the needs of the costumer) dan bukan sebaliknya yaitu birokrasi yang ingin dilayani (not the bureaucracy). Pemerintah yang reinvented adalah yang bekerja dengan motivasi keinginan memenuhi apa yang dibutuhkan masyarakatnya, bukan untuk dilayani oleh masyarakatnya.
            Ketujuh, enterprising government, konsep ini menjelaskan pengembangan semangat berwirausaha dalam menyelenggarakan pemerintahan. Ini berarti mengoptimalkan penerimaan daripada pembelanjaan, mengukur kemampuan berdasarkan perolehan dan bukan kemampuan belanja tanpa menghiraukan apa dan berapa perolehannya (earning rather than spending). Semangat wirausaha jangan disalahartikan menjadi mengkomersilkan jasa layanan pemerintah kepada masyarakat, melainkan menyajikan layanan umum yang prima agar terbentuk umpan-balik yang sama-sama menguntungkan.
            Kedelapan, anticipatory government: sifat antisipatif terbentuk karena kemampuan melihat ke depan (look foreward). Kemampuan antisipatif hanya mungkin jika knowledge-based dimiliki oleh setiap aparat pemerintah, sebab hal ini berkaitan erat dengan keahlian merencanakan. Dalam pada itu, pepatah lama “sedia payung sebelum hujan, lebih baik mencegah daripada mengobati” ialah tamsil bagaimana kemampuan antisipatif diperlukan oleh pemerintah yang reinvented.
            Kesembilan, decentralized government: pemerintahan yang terdesentralisasikan adalah tuntutan reinventing government, karena di era ekonomi global efisinsi dan produktivitas yang bisa meningkatkan kinerja. Sentralisasi sangat tidak efisien, boros dan kontra-produktif karena urusan yangs semakin kompleks hanya akan membuat hubungan Pusat-Daerah-Lokal jadi panjang berjenjang. Sebaliknya, desentralisasi dapat mendorong berkembangnya partisipasi dan terbentuknya kerja-tim (from hierarchy to participation and teamwork). Pusat (federal) tidak harus merasa tahu semua. Apa yang lebih efisien dan produktif dikerjakan oleh Daerah dan Lokal, tidak perlu ditangani Pusat. Apa yang lebig efisien dan produktif dikerjakan oleh swasta, jangan digarap oleh pemerintah kecuali jika yang dikerjakan oleh pemerintah itu lebih kompetitif dibandingkan dengan produk kerja swasta.
            Kesepuluh, market-oriented government: konsep ini menjelaskan setiap produk kerja dari pemerintahan baik barang, jasa, maupun informasi mesti berorientasi pasar. Artinya, dasar kebijakan pemerintah untuk melakukan sesuatu mesti diorientasikan kepada apa yang diminta oleh pasar. Pasar harus diartikan sebagai masyarakat terbuka, dimana proses transaksi terjadi karena ada interaksi yang merdeka diantara anggotanya. Misalnya, kebijakan bidang pendidikan sebagai supplier SDM harus diarahkan kepada lapangan kerja yang memerlukan. Kurikulum pembentuk knowledge-based diperkuat, tetapi tidak mengabaikan aspek terapannya pada dunia nyata. Contoh lain adalah jasa transportasi yang disediakan dan dikelola oleh pemerintah hendaknya yang bersifat angkutan banyak penumpang dan banyak barang. Kereta-api, kapal laut, bis-kota adalah marketable karena yang membutuhkannya bersifat massal. Sedangkan pesawat-udara, taxi, bis antar kota jauh lebih efisien dan produktif bila diselenggarakan oleh swasta, karena sifatnya optional. Bagi pemerintah Daerah dan Lokal, menyelenggarakan usaha air bersih dan bis kota jauh lebih marketable daripada mengusahakan bank, industri makanan dan minuman, rumah sakit derah, dan sarana hiburan.
            Kesepuluh konsepsi itu disebut oleh Osborne dan Gaebler (1992) sebagai sepuluh prinsip yang jika disatukan penerapannya bisa menimbulkan efek sinerji baik dalam penyelenggaraan layanan kesehatan, pendidikan, maupun penanganan kriminalitas. Kesepuluh prinsip itu menggeser model dasar pemerintahan yangs elama ini diterapkan di USA, dan tidak mustahil juga di banyak negara maju lainnya. Model dasar itu telah menumbuhkan anggapan bahwa semua pemerintahan itu mesti berskala besar, sentralistik, dan birokratis. Model begini juga ditiru oleh banyak negara sedang berkembang, termasuk Indonesia.
            Menutup tulisannya, Osborne dan Gaebler mengutip wawancaranya dengan John Bryson, seprang ilmuwan politik dari University of Minnesota, sebagai berikut:
In the past, we let markets work until they failed; then we responded with public bureaucracies. We’re struggling to figure out a new way, somewhere between markets and public bureaucracy. So far, there’s no theoru guilding it. People don’t have a real clear idea of why past practice aren’t working, or what a new model might be. So they can’t learn from success of failure: there is no theoretical framework people can use to imagine their experiences.
[Dahulu, kita membiarkan pasar berperan hingga akhirnya gagal; lalu kita beralih ke birokrasi-birokrasi publik. Kita sedang berjuang untuk mencari cara baru antara pasar dan birokrasi. Sebegitui jauh, tak ada teori yang membimbingnya. Banyak orang tidak punya jawaban yang jelas tentangmengapa praktik-praktik di masa lalau macet, atau model baru apa barangkali (jika ada). Sehingga mereka bisa belajar dari keberhasikan dan kegagalan: tidak ada kerangka teoretis yang bisa digunakan banyak orang untuk membayangkan pengalaman-pengalaman mereka]
Apa yang paling diperlukan dari perubahan besar ialah keberhasilan. Dengan perkataan lain, ialah adanya suatu kerangkan kerja baru untuk memahami pemerintahan, suatu cara berpikit baru mengenai pemerintahan. Singkatnya, suatu paradigma baru.


II.       KEMUNGKINAN TRANSFORMASI SEMANGAT KEWIRAUSAHAAN
PADA SEKTOR PUBLIK
Semangat kewirausahaan hanya salah satu saja dari sepuluh prinsip yang tercakup dalam reinventing government, yakni prinsip yang ketujuh: enterprising government: earning rather than spending berarti mengoptimalkan penerimaan daripada pembelanjaan, mengukur kemampuan berdasarkan perolehan dan bukan kemampuan belanja tanpa menghiraukan apa dan berapa perolehannya. Memang jika dikaji secara menyeluruh dan terpadu, kesepuluh prinsip yang diketengahkan oleh Osborne dan Gaebler itu berintikkan semangat wirausaha. Pemerintah yang hanya memikul beban (mendayung) saja tanpa mampu mengarahkan masyarakatnya untuk “motekar”2) akan terus menanggung risiko yang semakin berat. Pemerintah yang tidak mampu menumbuhkan rasa memiliki kepada warga masyarakatnya, karena selalu memelihara jarak dengan masyarakat yang harus diberi layanan dan selalu memposisikan diri sebagai “gusti” niscaya akan dijauhi oleh warga masyarakatnya. Pemerintah yang perangkat kerjanya tidak kompetitif karena terfokus kepada hal-hal rutin dan tidak biasa menghadapi dan mengatasi tantangan, akan ditinggalkan atau paling tidak akan diabaikan oleh masyarakatnya. Pemerintah yang melulu disetir oleh aturan dan berprinsip demi konstitusi meski harus mengabaikan misi utamanya, akan kehilangan legitimasi rakyatnya. Pemerintah yang lebih suka mendanai inputs (Contoh di Indonesia: rekapitalisasi bank-bank sakit) dan mereduksi dana yang jelas-jelas outcomes-nya. “di depan hidung” (Contoh di Indonesia: meniadakan subsidi pupuk, menurunkan bea ekspor Crude Palm Oil/CPO sehingga produsen terdorong mengekspor demi devisa dan, karenanya, mengabaikan pasar domestik) akan berakhir dengan “menggantang asap”. Pemerintah yang birokrasinya ingin dilayani oleh masyarakat ketimbang melayani masyarakat akan ditinggalkan oleh masyarakatnya, dalam arti wibawanya jatuh karena “amplop”. Pemerintah yang lebih mengutamakan perhitungan belanja (ongkos) daripada menghitung penerimaan, akan selalu berhutang alias defisit; yang demikian ini tidak berjiwa wirausaha. Pemerintah yang daya antisipasinya rendah akan selalu menanggung risiko, dan bukan memetik manfaat dari “sedia payung sebelum hujan”. Pemerintah yang sentralistik akan menanggung akibat keserekahannya pada saat kemampuan mengelola mulai merosot. Pemerintah yang bekerja tanpa menghiraukan (tidak tanggap) perubahan-perubahan yang terjadi dengan cepat di sekelilingnya (pasar = masyarakat), akan memudar dan kehilangan wibawa.

 


2) Bhs. Sunda, yang artinya berinisiatif/berprakarsa.

Untuk menghindarkan diri dari risiko seperti diuraikan di atas, maka (1) para pimpinan nasional pemerintahan jangan menjadi bingung oleh terjadinya perubahan cepat di masyarakat sebagai dampak ekonomi global dan kecepatan informasi, (2) politik secara nasional harus bisa dimengerti, bukan membingungkan rakyat, (3) rakyat menghendaki semua masalah diselesaikan jika paradigma lama sudah tidak efektif lagi, (4) partai-partai jangan hanya memperdebatkan isu-isu yang tidak membawa manfaat bagi pemilihnya, (5) hindari krisis paradigma di segala aspek kehidupan melalui proses pencerahan.
Mentransformasikan semangat wirausaha ke dalam sektor publik tidak semudah membalik telapak tangan, karena sudah terlalu lama sektor publik terbelenggu formalisme yang menjadikannya kaku dan beku. Menumbuhkan sikap wirausaha terhadap birokrat dan birokrasi dalam melayani masyarakat bisa berangkat dari individu pegawai, kelompok, organisasi, dan antar organisasi. Tapi satu hal yang selama ini diabaikan ialah bahwa birokrat dan birokrasi tidak merasa dibiayai oleh rakyat, tapi digaji oleh pemerintah. Karenanya, ada semacam jarak dengan rakyat (gusti vs. kawula). Rasionalitas birokrasi telah tergeser oleh interpretasi keliru mengenai konsep “berwibawa”. Menial “abdi dalem” sudah terlanjur menguat, sehingga sulit untuk diubah menjadi mental “wirausaha” yang kreatif, inovatif, risk taker, dan PEM3 (profesional, efisien, mampu memberdayakan masyarakat). Dengan perkataan lain, akan dibutuhkan waktu yang cukup panjang untuk mewujudkan lima sikap/pendirian yang disebutkan di atas. Dalam konteks inilah reformasi seharusnya bisa lebih memacu proses transformasi tersebut, meski tampaknya sulit dan tersendat-sendat.
Tapi sulit bukan berarti mustahil, karena masih banyak birokrat yang memiliki daya kreasi, inovasi. berani ambil risiko dan bekerja memenuhi persyaratan PEM3. Kepada birokrat seperti ini --bisa diketahui lewat talent scolding-- perlu ditumbuhkan iklim kerja yang kondusif bagi terwujudnya mental “wirausaha” yang disebutkan tadi. Caranya ialah fungsi dan tugas pokok dirinci secara operasional dan didistribusikan kepada satuan-satuan kerja secara seimbang. Penugasan diberikan atas dasar pertimbangan kemampuan, bukan atas dasar yang lain-lain. Pemantauan atas pelaksanaan tugas dilakukan secara tetap dan sinambung. Jangan dibiarkan swasta menerabas birokrasi, sekali hal ini terjadi akan berlanjut menjadi kebiasaan, dan lambat laun wibawa birokrasi mengalami erosi. Ini adalah bagian dari lima strategi penerapan reinventing (Osborne and Plastrik, 1997) yang lazim disebut organizational learning process.
Sedangkan peluang eksternal meliputi:



1.      Adanya kebijakan (policy) yang diarahkan kepada pembentukan aparat yang memenuhi persyaratan PEM3.
2.      Adanya kontrol masyarakat (misalnya: media massa) yang konstruktif bagi terbentuknya aparat birokrasi yang memenuhi persyaratan PEM3.
3.      Berkembangnya persaingan layanan umum yang disajikan oleh swasta pada bidang-bidang yang bukan monopoli pemerintah, seperti yang dilakukan oleh LSM dan Konsultan di bidang pendanaan, penyuluhan pertanian, perikanan, peternakan, kehutanan, kegiatan konstruksi, pendidikan, kesehatan, industri air minum, dsb.
4.      Optimalisasi pemanfaatan kerja sama dengan perguruan-perguruan tinggi dan organisasi-organisasi profesi.
5.      Kemitraan pemerintah swasta (public private partnership) dalam bidang-bidang layanan tertentu baik melalui:
a.       kontrak penuh
b.      kontrak manajemen
c.       waralaba (franchising)
d.      koperasi
e.       vouchers (kupon berhadiah)
6.      Investasi publik-privat dalam prasarana umum (public utilities) seperti lapangan parkir, taman rekreasi. prasarana olahraga, gedung kesenian, dsb. yang memiliki earning capacity.
7.      Revitalisasi BUMD melalui perbaikan manajemen dan penerapan PEM3.
8.      Menerapkan ODD (outsourcing, delayering, downsizing) pada semua tingkatan birokrasi Daerah termasuk BUMD bagi terwujudnya PEM3.
9.      Menghidupkan kembali RAKGANTANG dan CENTRA MASEKDAS sebagai dorongan bagi terbangunnya partisipasi aktif masyarakat. Caranya dengan mengaktifkan Karang Taruna dan para Kader Pembangunan Desa dalam rangka AMD.
10.  Memperluas dan mengintensifkan sosialisasi gerakan kesetiakawanan sosial, mulai dari KEMITRAAN USAHA KECIL, SARASA, REREONGAN SARUPI, hingga GDN dan JUM’AT BERSIH.


Peluang-peluang mi sebenarnya sudah tergelar lama, hanya saja terabaikan karena tidak dimotivasi ke arah pemberdayaan masyarakat melainkan didorong oleh keharusan
melindungi. mengayomi, mengatur (terkadang over regulated seperti di DKI-Jakarta dengan operasi yustisinya). Birokrasi tidaklah salah untuk melindungi, mengayomi, melayani dan mengatur masyarakat sebab memang diadakan untuk itu. Yang tidak baik dari kegiatan melindungi, mengayomi, melayani dan mengatur itu ialah menguatnya ketergantungan masyarakat kepada birokrasi (pemerintah) dan keberdayaan (inisiatif, kemandirian) jadi melemah. Ketika sumber-sumber publik masih melimpah, persoalan akan perlunya keberdayaan masyarakat belum mencuat ke permukaan. Kita dimanjakan oleh oil boom, ekspor kayu gelondongan (log, lumbers). Kini di saat migas tidak lagi menjanjikan pemasukan devisa, dan kontrol terhadap lingkungan hidup semakin mendunia maka isu keberdayaan (empowerment) masyarakat, jadi bergema di mana-mana.

III.     STRATEGI TRANSFORMASI SEMANGAT KEWIRAUSAHAAN
Di atas sudah diuraikan peluang-peluang internal dan eksternal yang ada bagi penumbuhan semangat kewirausahaan di sektor publik. Untuk mewujudkannya diperlukan strategi bagi bekerjanya organizational learning process (Osborne and Plastrik, 1997). Proses belajarnya organisasi harus didekati dari sisi strategic management (Wheelen and Hunger, 1989:7), yakni “that set of managerial decisions and actions that determines the longterm performance of a corporation”. Artinya perlu ada seperangkat keputusan yang dijadikan dasar kebijakan bertindak untuk menentukan kinerja ke organisasian.
Ada lima langkah strategis yang perlu dilakukan untuk mentransformasikan semangat kewirausahaan di sektor publik (Osborne and Plastrik, 1997:39) yang disebut the five C’s, sebagai berikut:

The Five C’s
[Lima C]
Lever
[Pendongkrak]
Strategy
[Strategi]
Approaches
[Pendekatan-pendekatan]
Purpose
[Tujuan]


Incentives
 [Intensif-intensif]

Core Strategy
[Strategi inti]


Consequences Strategy [Strategi thd konsekuensi2]
                
Clarity of Purpose [Kejelasan tujuan]
Clarity of Role [Kejelasan peran]
Clarity of Directions [Kejelasan arah]

Managed competition [Kompetisi terkelola]
Enterprise Management [Manajemen usaha]
Performance Afanagement [Manajemen kinerja]




Accountability
[Akuntabilitas]



Power [Kekuatan]




Culture [Kultur/Budaya]
Control Strategy
[Strategi pengendalian]



Culture Strategy
[Strategi pengendalian]



Culture Strategy
[Strategi budaya]
                
Customer choice [Pilihan pelanggan]
Competitive choice [Pilihan kompetitif]
Customer quality assurance
[Jaminan mutu bagi pelanggan]

Organizational [Keorganisasian]
Empowererment [Pemberdayaan]
Employee empowerment [Pemberdayaan peg.]
Community empowerment [Pemberdayaan masy.]

Breaking habits [Mencairkan kebiasaan2]
Touching hearts [Sambung rasa]
Winning Minds [Berpikir optimis]

Filosofinya ialah bahwa semua organisasi (organisms = makhluk hidup,) dibentuk oleh DNA3-nya masing-masing. yang dalam konteks organisasi sebagai entitas sosial berupa: perintah-perintah yang termodifikasi yang menentukan siapa dan apa organisasi itu. DNA itu menyediakan hal yang paling mendasar yaitu --sekali lagi dalam konteks organisasi sebagai entitas sosial-- instruksi-instruksi yang amat berpengaruh terhadap pengembangan daya tahan kemampuan dan perilaku suatu entitas sosial.

Strategi Inti :
Ini merupakan bagian pertama DNA yang penting dalam menentukan tujuan dari sistem (organisasi) publik dan aneka organisasi. Jika suatu organisasi tidak jelas tujuannya, atau bertujuan ganda dan saling bertentangan, maka tidak akan pernah mencapai kinerja yang tinggi. Seumpama orang berjalan yang tak tentu arah, maka jalan itulah yang akan membawanya ke mana-mana. Strategi ini disebut inti karena bersangkut-paut dengan fungsi utama suatu organisasi/lembaga (misalnya: badan-badan pemerintahan) yakni fungsi mengarahkan. Sedangkan empat strategi lainnya berfokus pada menyempurnakan fungsi mendayung/memikul beban.

Strategi menghadapi konsekuensi-konsekuensi :
Kunci bagian kedua dari DNA-nya organisasi/badan/lembaga/institusi menentukan insentif/dorongan/rangsangan yang dibangun dalam sistem (organisasi) publik. DNA-nya birokrasi memberikan kepada para pegawainya dorongan yang sangat kuat untuk taat dan patuh kepada aturan. Inovasi dianggap pembawa kerunyaman, sebaliknya status-quo menjanjikan imbalan/ganjaran setiap saat.
 


3) DNA = Deoxyribo Nucleic Acid adalah zat nucleic acid yang merupakan unsur kimia pembentuk utama chromosomes menjadi sel-sel yang terdiri atas dua mata rantai panjang unit-unit fosfat dan gula yang berputar melilit menjadi suatu spiral ganda bersama hidrogen terikat dalam untaian yang menentukan keturunan dan karakter individu.
Para pegawai digaji sama tanpa memperdulikan hasil yang mereka perlihatkan. Dan kebanyakan organisasi seperti birokrasi itu bersifat monopolistik --setidak-tidaknya dekat ke arah sifat itu--yakni dibungkus kegagalannya. Tidak seperti perusahaan-perusahaan swasta, yang tidak mungkin mau rugi atau lengser dari bisnisnya. jika persaingan berlangsung baik.
Para ahli reinventing melakukan penulisan ulang semua aturan dasar untuk mengubah insentif/rangsangan/dorongan model begitu dengan menciptakan konsekuensi-konsekuensi/akibat-akibat bagi kinerja. Jika memang cocok, para ahli itu menempatkan organisasi-organisasi publik di tengah pasar dan membuatnya tergantung kepada pelanggan guna meraih pendapatannya. Jika tidak cocok, maka diterapkan model kontrak guna menciptakan daya saing antara publik dan privat/swasta, dan hal seperti ini pernah dicontohkan oleh Inggris yang kemudian ditiru oleh Selandia Baru.
Strategi menghadapi pelanggan :
Bagian mendasar berikutnya dari DNA-nya suatu organisasi ialah akuntabilitas (tanggung-gugat): secara khusus. kepada siapa suatu organisasi bertanggung-gugat? (Persisnya, kelima strategi yang disebutkan di atas menyentuh isu akuntabilitas. Misalnya strategi inti, menjelaskan untuk apa suatu organisasi mesti bertanggung-gugat: kemudian strategi menghadapi konsekuensi-konsekuensi menyatakan bagaimana organisasi diselenggarakan secara bertanggung-gugat; strategi pengendalian/pengawasan berdampak pada penentuan siapa yang bertanggung-gugat; dan strategi budaya membantu para pegawai menghayati masing-masing tanggung-gugatnya. Justru dengan menjadikan organisasi bertanggung-gugat terhadap para pelanggannya, strategi menghadapi pelanggan itulah yang paling kuat keterikatannya dengan isu tanggung-gugat.

Strategi pengendalian/pengawasan :
Bagian DNA keempat yang penting ini menentukan di mana kekuasaan pembuat keputusan berada. Dalam sistem birokratis. hampir semua kekuasaan berada dekat dengan hierarki puncak. Dalam demokrasi. kekuasaan berangkat dari warga negara ke arah pejabat negara yang dipilih kemudian menuju ke staf lembaga/badan-badan pusat seperti jabatan-jabatan di bidang anggaran dan kepegawaian; akhirnya dari kendali badan-badan pusat itu meluncur melalui garis komando ke para manajer/pimpinan pelaksana. Biasanya, para pejabat negara yang dipilih berusaha sedapat mungkin memegang kekuasaan sebanyak/sebesar-besarnya. dan badan-badan pengendali pusat memandu kekuasaan para pejabat pilihan tadi meski dengan rasa iri. Kewenangan struktural para manajer/pimpinan pelaksana kerap kali dihadapkan kepada pilihan terbatas sehingga fleksibilitasnya terhambat misalnya oleh instruksi-instruksi njelimet mengani anggaran, aturan-aturan kepegawaian, sistem pembelanjaan, praktek-praktek audit/pemeriksaan, dsb. Para pegawai hampir semuanya tak berdaya untuk memutuskan. Ujung-ujungnya, badan/lembaga/organisasi pemerintah menjawabnya dengan menerbitkan aturan-aturan baru daripada mengubah situasi atau memenuhi tuntutan pelanggan.

Strategi budaya :
Bagian paling akhir DNA suatu organisasi (sebagai entitas sosial) menunjuk pada kultur organisasi publik: seperangkat nilai, norma, sikap, dan harapan-harapan para pegawainya. Budaya dibentuk secara kuat oleh yang tersisa dari DNA: oleh tujuan organisasi, insentif-insentifnya, sistem akuntabilitasnya. struktur kekuasaannya. Perubahan yang terjadi pada semuanya akan berakibat berubahnya kultur/budaya. Tapi budaya tidak selalu berubah hanya karena pimpinan organisasi menghendakinya karena pada suatu saat ia jadi mengeras dan bertahan atau bahkan jadi “berang”. Kerap kali dengan sangat perlahan ia berubah demi memuaskan pelanggan/masyarakat dan sekaligus para pemutus kebijakan. Karenanya, kita menemukan bahwa sebenarnya setiap organisasi yang telah menggunakan empat C lainnya, juga pada dasarnya telah memutuskan bahwa ia memerlukan suatu ke hati-hatian dalam mengampanyekan penulisan ulang aturan-aturan dasar yang telah membentuk budayanya.
DNA organisasi yang disebut strategi budaya ini relevan dengan pergantian dari orde baru Soeharto administration ke orde reformasi. Kelihatan sekali pemerintah Kabinet Reformasi model kepemimpinan Habibie amat berhati-hati dalam melakukan langkah-langkah reformasi, karena amat disadari bahwa kultur yang telah terbangun lebih dari 30 tahun oleh rezim Soeharto sudah mengeras dan bertahan atau bahkan “berang” jika tiba-tiba harus diubah. Misalnya saja untuk memenuhi apa yang dikonsepsikan oleh Bannishing Bureaucracy (Osborne and Plastrik, 1997) seperti berikut:
·         The new laws separated policy-making or steering functions from rowing functions. [Undang-undang yang baru memisahkan pembuatan kebijakan atau fungsi-fungsi mengarahkan dari fungsi-fungsi mendayung/menanggung beban].
·         Ministers would negotiate performance agreements with all departments and ministries, which would agree to produce a specified quantity and quality of outputs at a specified price. [Para menteri mau merundingkan persetujuan-persetujuan mengenai kinerja dengan semua departemen dan kementrian. di mana disepakati untuk menghasilkan keluaran-keluaran dengan jumlah, mutu dan harga yang sudah ditentukan].
·         The senior civil servant running each department or ministry would work on a fixed-term performance contract, rather than having permanent tenure. [PNS senior yang menggerakkan tiap departemen atau kementrian mau bekerja atas dasar suatu kontrak kinerja yang pasti jangka waktunya ketimbang punya jabatan tetap].
·         The new chief executives would have the freedom to manage their organizations’ resources. [Para CEO baru hendaknya punya kebebasan mengelola sumber-sumber organisasinya].
·         Departments and ministries were given incentives to manage their finances effectively. [Semua departemen dan kementrian diberi insentif untuk mengelola keuangannya secara efektif].
·         The role and function of central administrative agencies changed. (Peran dan fungsi badan-badan administratif pusat berubah].
Jawabnya, barangkali yang stereotype, “reformasi bukanlah revolusi, apalagi anarki!” Tapi siapa tahu di balik yang stereotype itu muncul nostalgia nikmatnya kekuasaan lama yang banjir KKN.

Bandung, 10 Februari 1999

SUMBER ACUAN

Khun, Thomas S. 1970. The Structure of Scientific Revolutions. Second Ed., Enlarged. Chicago: The University of Chicago Press.
Nonaka, Ikujiro., Hirotaka Takeuchi. 1995. The Knowledge-Creating Company. New York: Oxford University Press.
Osborne, David and Ted Gaebler. 1992. Reinventing Government: How the entrepreneurial spirit is transforming the public sector. New York: Addison-Wesley Publishing Company, Inc.
               and Peter Plastrik. 1997. Banishing Bureaucracy: The Five Strategies for Reinventing Government. New York: Addison-Wesley Publishing Company, Inc.
Roth, Gabriel. 1987. The Private Provision of Public Services in Developing Countries. EDI Series in Economic Development. Published for the World Bank, Oxford University Press.
Ruswita, Atang (Ed.). 1997. Bunga Rampai Pemberdayaan Masyarakat Jawa Barat. Bandung: PT.Granesia.
Thayer, Frederick C. 1981. An End To Hierarchy & Competition: Administration in the Post-Affluent World. New York: Franklin Watts.
Wheelen, Thomas L, J. David Hunger. 1989. Strategic Management and Business Policy. Third Ed. Reading, Massachusetts: Addison-Wesley Publishing Company.
 




[1]  Dosen FISIP-UNPAD, Program Pascasarjana UNPAD, Program Pascasarjana ITB Program Studi Pembangunan. Makalah disiapkan atas permintaan Dekan FISIP-UNPAD dengan suratnya No. 0069/JO6.6.FISIP/PL/99 tertgl. 26 Januari 1999 dalam rangka ”Pembekalan Peningkatan Kinerja Pembantu Bupati/Walikotamadya se-Indonesia” dari bulan Februari hingga Maret 1999.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

nice share,,,