170110120139 - Universitas Padjajaran
Bangsawan
Demokratis
Dilahirkan di Dalem Pakuningratan
kampung Sompilan Ngasem pada hari Sabtu Pahing
tanggal 12 April 1912 atau menurut tarikh Jawa Islam pada tanggal Rabingulakir
tahun Jimakir 1842 dengan nama Dorodjatun. Ayahnya adalah Gusti Pangeran Haryo
Puruboyo, yang kemudian hari ketika Dorodjatun berusia 3 tahun Beliau diangkat
menjadi putera mahkota (calon raja) dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati
Anom Hamengku Negara Sudibya Raja Putera Narendra ing Raja Kerajaan Mataram.
Sedangkan ibunya bernama Raden Ajeng Kustilah, puteri Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Raden Ayu Adipati Anom. Sejak usia 4 tahun Dorodjatun sudah hidup terpisah dari keluarganya, dititipkan pada keluarga Mulder seorang Belanda yang tinggal di Gondokusuman untuk mendapat pendidikan yang penuh disiplin dan gaya hidup yang sederhana sekalipun ia putra seorang raja. Dalam keluarga Mulder itu Dorodjatun diberi nama panggilan Henkie yang diambil dari nama Pangeran Hendrik, suami Ratu Wilhelmina dari Negeri Belanda. Henkie mulai bersekolah di taman kanak-kanak atau Frobel School asuhan Juffrouw Willer yang terletak di Bintaran Kidul. Pada usia 6 tahun Dorodjatun masuk sekolah dasar Eerste Europese Lagere School dan tamat pada tahun 1925. Kemudian Dorodjatun melanjutkan pendidikan ke Hogere Burger School (HBS, setingkat SMP dan SMU) di Semarang dan kemudian di Bandung. Pada tahun 1931 ia berangkat ke Belanda untuk kuliah di Rijkuniversiteit Leiden, mengambil jurusan Indologie (ilmu tentang Indonesia) kemudian ekonomi. Ia kembali ke Indonesia tahun 1939.
Setahun kemudian, tepatnya pada hari Senin Pon tanggal 18 Maret 1940 atau tanggal 8 bulan Sapar tahun Jawa Dal 1871, Dorodjatun dinobatkan sebagai raja Yogyakarta Hadiningrat dengan gelar Sampeyandalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengkubuwono, Senopati Ing Ngalogo, Abdurrahman Sayidin Panoto Gomo, Kalifatullah Ingkang Kaping IX. Arti gelar tersebut ialah bahwa sultanlah penguasa yang sah dunia yang fana ini, dia juga Senopati Ing Ngalogo yang berarti mempunyai kekuasaan untuk menentukan perdamaian atau peperangan dan bahwa dia pulalah panglima tertinggi angkatan perang pada saat terjadi peperangan. Sultan juga Abdurrahman Sayidin Panoto Gomo atau penata agama yang pemurah, sebab dia diakui sebagai Kalifatullah, pengganti Muhammad Rasul Allah di Kesultanan Yogyakarta.
Sri Sultan Hamengku Buwono IX merupakan contoh bangsawan yang demokratis. Pemerintahan Kesultanan Yogyakarta mengalami banyak perubahan di bawah pimpinannya. Pendidikan Barat yang dijalaninya sejak usia 4 tahun membuat HB IX menemukan banyak alternatif budaya untuk menyelenggarakan Keraton Yogyakarta di kemudian hari. Berbagai tradisi keraton yang kurang menguntungkan dihapusnya dan mencari alternatif baru yang lebih bermakna. Meski begitu bukan berarti ia menghilangkan substansi sendiri sejauh itu perlu dipertahankan. Bahkan wawasan budayanya yang luas mempu menemukan terobosan baru untuk memulihkan kejayaan kerajaan Yogyakarta. Bila dalam masa kejayaan Raja Kerajaan Mataram pernah berhasil mengembangkan konsep politik keagungbinataraan yaitu bahwa kekuasaan raja adalah agung binathara bahu dhenda nyakrawati, berbudi bawa leksana ambeg adil para marta (besar laksana kekuasaan dewa, pemeliharaan hukum dan penguasa dunia, meluap budi luhur mulianya, dan bersikap adil terhadap sesama), maka HB IX dengan wawasan barunya menunjukkan bahwa raja bukan lagi gung binathara, melainkan demokratis. Raja berprinsip kedaulatan rakyat tetapi tetap berbudi bawa leksana. Di samping itu HB IX juga memiliki paham kebangsaan yang tinggi. Dalam pidato penobatannya sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono IX ada dua hal penting yang menunjukkan sikap tersebut. Pertama, adalah kalimat yang berbunyi: "Walaupun saya telah mengenyam pendidikan Barat yang sebenarnya, namun pertama-tama saya adalah dan tetap orang Jawa." Kedua, adalah ucapannya yang berisi janji perjuangan: "Izinkanlah saya mengakhiri pidato saya ini dengan berjanji, semoga saya dapat bekerja untuk memuhi kepentingan nusa dan bangsa, sebatas pengetahuan dan kemampuan yang ada pada saya." Wawasan kebangsaan HB IX juga terlihat dari sikap tegasnya yang mendukung Republik Indonesia dengan sangat konsekuen. Segera setelah Proklamasi RI ia mengirimkan amanat kepada Presiden RI yang menyatakan keinginan bahwa kerajaan Yogyakarta akan mendukung pemerintahan RI dan menyumbang sekitar 6 juta Gulden kepada pemerintahan Indonesia kala itu. Ketika Jakarta sebagai ibukota RI mengalami situasi gawat, HB IX tidak keberatan ibukota RI dipindahkan ke Yogyakarta. Begitu juga ketika ibukota RI diduduki musuh, ia bukan saja tidak mau menerima bujukan Belanda untuk berpihak pada mereka, namun juga mengambil inisatif yang sebenarnya dapat membahayakan dirinya, termasuk mengijinkan para gerilyawan bersembunyi di kompleks keraton pada Serangan Umum 1 Maret 1949. Jelaslah bahwa ia seorang raja yang republiken. Setelah bergabung dengan RI, HB IX terjun dalam dunia politik nasional. Beliau menghembuskan nafas terakhirnya di usia 76 tahun pada 2 Oktober 1988 di Amerika Serikat.
Penggagas Serangan Umum
Berdasarkan dokumen-dokumen yang kini dimiliki Arsip Nasional RI semakin jelas, penggagas Serangan Umum 1 Maret 1949 adalah mendiang Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Sebuah dokumen hasil wawancara mendiang Raja Yogyakarta itu dengan Radio BBC London tahun 1980-an secara jelas mengatakan hal itu. Dari wawancara itu juga terungkap, peran mantan Presiden Republik Indonesia Kedua (1966-1988) Presiden Soeharto yang ketika itu masih berpangkat Letnan Kolonel hanya sebatas sebagai pelaksana saja. "Yang pasti, penggagas Serangan Oemoem itu adalah mendiang Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan bukan Presiden Republik Indonesia Kedua (1966-1998) seperti selama ini diyakini pemerintah Orde Baru," kata Kepala Arsip Nasional RI Dr Muhklis Paeni, dalam konferensi pers di gedung Arsip Nasional RI Jakarta, Jumat (10/3) petang. Menurut Muhklis, gagasan mendiang Sri Sultan Hamengku Buwono IX mau mengadakan SU 1 Maret 1949 itu karena dilatarbelakangi oleh kepentingan nasional yakni menunjukkan kepada dunia internasional bahwa "denyut nadi" Republik Indonesia masih hidup. Ide itu, jelas Muhklis, lalu didiskusikan dengan Panglima Besar Jenderal Panglima Besar TKR/TNI Sudirman dan akhirnya disetujui. Atas saran Jenderal Panglima Besar TKR/TNI Sudirman, Sri Sultan lalu menghubungi Presiden Republik Indonesia Kedua (1966-1998) Soeharto soal ide itu dan membicarakan pengoperasiannya.
Sedangkan ibunya bernama Raden Ajeng Kustilah, puteri Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Raden Ayu Adipati Anom. Sejak usia 4 tahun Dorodjatun sudah hidup terpisah dari keluarganya, dititipkan pada keluarga Mulder seorang Belanda yang tinggal di Gondokusuman untuk mendapat pendidikan yang penuh disiplin dan gaya hidup yang sederhana sekalipun ia putra seorang raja. Dalam keluarga Mulder itu Dorodjatun diberi nama panggilan Henkie yang diambil dari nama Pangeran Hendrik, suami Ratu Wilhelmina dari Negeri Belanda. Henkie mulai bersekolah di taman kanak-kanak atau Frobel School asuhan Juffrouw Willer yang terletak di Bintaran Kidul. Pada usia 6 tahun Dorodjatun masuk sekolah dasar Eerste Europese Lagere School dan tamat pada tahun 1925. Kemudian Dorodjatun melanjutkan pendidikan ke Hogere Burger School (HBS, setingkat SMP dan SMU) di Semarang dan kemudian di Bandung. Pada tahun 1931 ia berangkat ke Belanda untuk kuliah di Rijkuniversiteit Leiden, mengambil jurusan Indologie (ilmu tentang Indonesia) kemudian ekonomi. Ia kembali ke Indonesia tahun 1939.
Setahun kemudian, tepatnya pada hari Senin Pon tanggal 18 Maret 1940 atau tanggal 8 bulan Sapar tahun Jawa Dal 1871, Dorodjatun dinobatkan sebagai raja Yogyakarta Hadiningrat dengan gelar Sampeyandalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengkubuwono, Senopati Ing Ngalogo, Abdurrahman Sayidin Panoto Gomo, Kalifatullah Ingkang Kaping IX. Arti gelar tersebut ialah bahwa sultanlah penguasa yang sah dunia yang fana ini, dia juga Senopati Ing Ngalogo yang berarti mempunyai kekuasaan untuk menentukan perdamaian atau peperangan dan bahwa dia pulalah panglima tertinggi angkatan perang pada saat terjadi peperangan. Sultan juga Abdurrahman Sayidin Panoto Gomo atau penata agama yang pemurah, sebab dia diakui sebagai Kalifatullah, pengganti Muhammad Rasul Allah di Kesultanan Yogyakarta.
Sri Sultan Hamengku Buwono IX merupakan contoh bangsawan yang demokratis. Pemerintahan Kesultanan Yogyakarta mengalami banyak perubahan di bawah pimpinannya. Pendidikan Barat yang dijalaninya sejak usia 4 tahun membuat HB IX menemukan banyak alternatif budaya untuk menyelenggarakan Keraton Yogyakarta di kemudian hari. Berbagai tradisi keraton yang kurang menguntungkan dihapusnya dan mencari alternatif baru yang lebih bermakna. Meski begitu bukan berarti ia menghilangkan substansi sendiri sejauh itu perlu dipertahankan. Bahkan wawasan budayanya yang luas mempu menemukan terobosan baru untuk memulihkan kejayaan kerajaan Yogyakarta. Bila dalam masa kejayaan Raja Kerajaan Mataram pernah berhasil mengembangkan konsep politik keagungbinataraan yaitu bahwa kekuasaan raja adalah agung binathara bahu dhenda nyakrawati, berbudi bawa leksana ambeg adil para marta (besar laksana kekuasaan dewa, pemeliharaan hukum dan penguasa dunia, meluap budi luhur mulianya, dan bersikap adil terhadap sesama), maka HB IX dengan wawasan barunya menunjukkan bahwa raja bukan lagi gung binathara, melainkan demokratis. Raja berprinsip kedaulatan rakyat tetapi tetap berbudi bawa leksana. Di samping itu HB IX juga memiliki paham kebangsaan yang tinggi. Dalam pidato penobatannya sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono IX ada dua hal penting yang menunjukkan sikap tersebut. Pertama, adalah kalimat yang berbunyi: "Walaupun saya telah mengenyam pendidikan Barat yang sebenarnya, namun pertama-tama saya adalah dan tetap orang Jawa." Kedua, adalah ucapannya yang berisi janji perjuangan: "Izinkanlah saya mengakhiri pidato saya ini dengan berjanji, semoga saya dapat bekerja untuk memuhi kepentingan nusa dan bangsa, sebatas pengetahuan dan kemampuan yang ada pada saya." Wawasan kebangsaan HB IX juga terlihat dari sikap tegasnya yang mendukung Republik Indonesia dengan sangat konsekuen. Segera setelah Proklamasi RI ia mengirimkan amanat kepada Presiden RI yang menyatakan keinginan bahwa kerajaan Yogyakarta akan mendukung pemerintahan RI dan menyumbang sekitar 6 juta Gulden kepada pemerintahan Indonesia kala itu. Ketika Jakarta sebagai ibukota RI mengalami situasi gawat, HB IX tidak keberatan ibukota RI dipindahkan ke Yogyakarta. Begitu juga ketika ibukota RI diduduki musuh, ia bukan saja tidak mau menerima bujukan Belanda untuk berpihak pada mereka, namun juga mengambil inisatif yang sebenarnya dapat membahayakan dirinya, termasuk mengijinkan para gerilyawan bersembunyi di kompleks keraton pada Serangan Umum 1 Maret 1949. Jelaslah bahwa ia seorang raja yang republiken. Setelah bergabung dengan RI, HB IX terjun dalam dunia politik nasional. Beliau menghembuskan nafas terakhirnya di usia 76 tahun pada 2 Oktober 1988 di Amerika Serikat.
Penggagas Serangan Umum
Berdasarkan dokumen-dokumen yang kini dimiliki Arsip Nasional RI semakin jelas, penggagas Serangan Umum 1 Maret 1949 adalah mendiang Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Sebuah dokumen hasil wawancara mendiang Raja Yogyakarta itu dengan Radio BBC London tahun 1980-an secara jelas mengatakan hal itu. Dari wawancara itu juga terungkap, peran mantan Presiden Republik Indonesia Kedua (1966-1988) Presiden Soeharto yang ketika itu masih berpangkat Letnan Kolonel hanya sebatas sebagai pelaksana saja. "Yang pasti, penggagas Serangan Oemoem itu adalah mendiang Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan bukan Presiden Republik Indonesia Kedua (1966-1998) seperti selama ini diyakini pemerintah Orde Baru," kata Kepala Arsip Nasional RI Dr Muhklis Paeni, dalam konferensi pers di gedung Arsip Nasional RI Jakarta, Jumat (10/3) petang. Menurut Muhklis, gagasan mendiang Sri Sultan Hamengku Buwono IX mau mengadakan SU 1 Maret 1949 itu karena dilatarbelakangi oleh kepentingan nasional yakni menunjukkan kepada dunia internasional bahwa "denyut nadi" Republik Indonesia masih hidup. Ide itu, jelas Muhklis, lalu didiskusikan dengan Panglima Besar Jenderal Panglima Besar TKR/TNI Sudirman dan akhirnya disetujui. Atas saran Jenderal Panglima Besar TKR/TNI Sudirman, Sri Sultan lalu menghubungi Presiden Republik Indonesia Kedua (1966-1998) Soeharto soal ide itu dan membicarakan pengoperasiannya.
Sri Sultan HB IX juga telah beberapa kali menduduki kursi-kursi penting
pemerintahan Indonesia seperti Wakil Perdana Menteri Indonesia, Menteri dan
juga Wakil Presiden Indonesia pada zaman Orde Baru.
Sumber: http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/285-ensiklopedi/276-bangsawan-yang-demokratis
Copyright © tokohindonesia.com
Sumber: http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/285-ensiklopedi/276-bangsawan-yang-demokratis
Copyright © tokohindonesia.com
ANALISIS GAYA
KEPEMIMPINAN SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO IX
Peran
pemimpin dalam suatu organisasi adalah hal yang sangat krusial. Tanpa adanya
pemimpin maka suatu organisasi tidak akan berjalan baik dalam pencapaian tujuan
organisasi. Esensi pemimpin itu sendiri adalah mempengaruhi tindakan-tindakan
orang lain, kualitas esensial pemimpin adalah mereka yakin sesuatu mesti
dilakukan dan meyakinkan orang lain utuk membantunya mewujudkan hal tersebut (
Nigro & Nigro, 1989:279). Harold Koontz mengutarakan bahwa kepemimpinan
muncul dalam ilmu sosial dengan tiga arti utama :
1. Atribut suatu posisi
2. Sifat seseorang
3. Kategori perilaku
Legitimasi posisi seorang pemimpin dapat didasarkan pada sumber kekuasaan
yang didefinisikan dalam dimensi :
1. Legal Power (kekuasaan legal). Didasarkan pada otoritas
rasional legal yang diperoleh karena menduduki suatu suatu posisi formal dalam
hirarki organisasi
2. Personal Power (kekuasaan pribadi). Daya tarik dari
pribadi seseorang yang dapat menimbulkan kesadaran pengikut untuk menerima,
mengakui , dan mengikutinya karena dirasaka baik atau benar. Kekuasaan
bersumber pada, tradisi, kharisma, dan keahlian.
Sri
Sultan Hamengku Buwono IX adalah sesosok pemimpin yang memiliki semua hal
tersebut. Bisa dikatakan bahwa Sri Sultan Hamengku Buwono adalah teladan
pemimpin yang ideal untuk Negara Indonesia sekarang ini yang terjebak dalam
“Demokrasi” sebagai sutu proses politik. Posisi beliau sebagai Raja Kesultanan
Yogyakarta adalah bukti bahwa sumber kekuasaan yang beliau dapatkan berdasarkan
garis keturunan atau tradisioanl (Max Weber). Namun, dengan catatan beliau menjabat
sebagai Menteri Negara, Menteri Koordinator Keamanan Dalam Negeri, Menteri
Pertahanan sampai Wakil Perdana Menteri pada zaman orde lama, hingga diberika
kepercayaan yang sama ketika Presiden Suharto meduduki jabatan sebagai Presiden
RI ke-2 adalah suatu bukti bahwa beliau memiliki standar yang sangat memadai
untuk mendapatkan kekuasaan di skala nasional bukan hanya karena garis
keturunan semata tapi karena kecakapan atau
keahlian, kharisma yang beliau miliki hingga dinilai pantas sebagai
seorang pemimpin. Pada saat itu kita ketahui bersama bahwa Presiden Sukarno dan
Presiden Suharto memiliki gaya kepemimpinan yang sangat berbeda namun,
kepercayaan kepada HB IX untuk menjabat di kursi pemerintahan beberapa kali
hingga menjadi Wakil Presiden RI zaman orde baru pada tahun 1973-1978 menunjukan bahwa eksistensi dan kapabilitas
beliau sebagai salah satu pemimpin bangsa tidak bisa diragukan.
Menurut teori kepemimpinan
Edgar H. Schein, Sri Sultan HB IX termasuk dalam gaya kepemimpinan 9.9.
Memiliki orientasi terhadap hubungan manusia yang tinggi dan juga orientasi
tugas yang tinggi. Kenapa bisa demikian? Bisa dilihat dari beberapa
pengorbanan, pencapaian, dan keputusan yang beliau ambil untuk bangsa dan
negaranya ini. Kepribadian Sri sultan HB IX terkenal sangat ramah, bersahaja,
dan juga tenang. Beliau sangat dihormati oleh rakyatnya di DIY dan seluruh
penjuru Indonesia. Beliau sangat jarang menggunakan pengawal atau body guard ketika mengemban tugas baik
di dalam kota maupun di luar kota. Kemampuan beliau dalam persuasi rakyat dan
pejabat Kesultanan Yogyakarta untuk menyatakan diri bergabung dengan Republik Indonesia
pada awal kemerdekaan walaupun pada dasarnya Kesultanan Yogyakarta telah
memiliki otonomi daerah sendiri dan mendapatkan pengakuan dari Pemetintahan
Hindia Belanda dan juga Jepang serta menyumbangkan 6 juta gulden kepada
pemerintah yang baru merdeka tanpa mengharapkan balasan dari pemerintah Indonesia
adalah suatu bukti konkret atas penilaian saya terhadap gaya kepemimpinan Sri
Sultan HB IX.
Belum pernah ada
pernyataan akan keburukan pribadi Sri Sultan HB IX ketika beliau memimpin
Kesultanan Yogyakarta maupun bangsa Indonesia. Kontribusi dalam pembangunan
ekonomi, politik, pendidikan dan juga sosial di Indonesia merupakan pengabdian
beliau dalam mengemban tugas pencapaian tujuan negara Indonesia yang tertuang
dalam Pembukaan UUD 1945. Pada masa
usaha mempertahankan kemerdekaan Indonesia, Belanda melancarkan aksi agresi
militer yang menyebabkan lumpuhnya roda ekonomi bangsa dan terjadi kelaparan di
beberapa wilayah. Sri Sultan HB IX langsung turun ke jalan membantu meringankan
penderitaan rakyat dengan mendirikan pemukiman-pemukiman di dalam wilayah keraton yang saat itu sangat sakral. Serta memberikan
bantuan langsung kepada pemerintah Indonesia berupa uang untuk menutupi
perekonomian pemerintah yang lumpuh. Dalam usaha memajukan pendidikan bangsa
beliau mendirika Sekolah Rakyat (SR) serta Sekolah Menengah Tinggi (SMT) untuk
rakyat di daerah Jawa Tengah, Jawa Timur, serta DIY sendiri hingga menjadi
salah satu founding father Universitas
Gadjah Mada yang akhirnya menjadi salah satu pusat pendidikan di Indonesia.
Orientasi hubungan manusia
yang tinggi ditunjukan kebiasaan Sri Sultan HB IX mengunjungi rakyatnya baik di
dalam pasar untuk mengontrol harga pasar dan perkembangan sektor perdagangan,
di desa-desa untuk melihat kesejahteraan hidup, dan membebaskan untuk
mengutarakan pendapat rakyat di alun-alun Yogyakarta. Sultan juga melarang
pengiriman romusha dengan mengadakan proyek lokasi saluran irigasi Selokan
Mataram sebagai dalih kepada pemerintahan Jepang. Keputusan yang beliau ambil
sangat berani dan bahkan menguntungkan untuk pemerintahan Kesultanan Yogyakarta
dan juga rakyatnya hingga sekarang. Beliau selalu bersedia mendengar keluhan
dan masukan dari bawahannya dan juga dari demonstran saat beliau menjabat
sebagai Wakil Presiden RI ke-2. Hingga suatu ketika para mahasiswa yang
melakukan demonstrasi terkenal anarkis sangat tenang ketika melewati kantor
Wapres RI. Penghormatan yang para demonstran berikan tersebut adalah bukti
bahwa bagaimana mereka segan akan kepemimpinan Sri Sultan HB IX walaupun saat
itu pemerintah Indonesia sedang dihujat oleh rakyatnya.
Pengabdian Sri Sultan yang
tanpa pamrih tersebut tercermin dari kebijakan-kebijakan yang beliau ambil
untuk negara. Merelakan kekayaannya dan wilayah teritorial pribadinya untuk
bangsa Indonesia. Mengemban tugas-tugas negara dari yang berskala regional,
nasional hingga internasioanal sebagai Ketua Delegasi Indonesia dalam PBB.
Kemampuan diplomasi Sri Sultan HB IX dalam ditandatanganinya perjajian damai
setelah Agresi Militer Indonesia adalah suatu kontribusi yang besar untuk bagsa
dan negara Indonesia. Sebelum itu beliau juga berdiplomasi selama 4 tahun
dengan pemerintahan Hindia Belanda yang saat itu diwakili oleh Dr. Lucien adams
untuk mendapatkan hak atau pengkuan teritorial akan wilayah Kesultanan
Yogyakarta sebelum Indonesia merdeka mendapatkan hasil yang tidak sia-sia. Sri
Sultan HB IX beberapa tahun terakhir terkenal dengan pengagas serangan umum1
Maret 1949 yang sebelumnya dikenal bahwa Presiden Suharto lah pengagas serangan
tersebut namun pengakuan bebrerapa pihak terlibat dan dokumen BBC internasional
menyebutkan bahwa penggagas dan penagtur strategi adalah Sri Sultan HB IX
beserta serangan-serangan gerilyawan terhadap pemerintah kolonial saat itu.
Namun, beliau tidak pernah membuka hal tersebut kepada publik. Beliau lebih
memilih diam dan tetap melanjutkan pengabdiannya terhadap bangsa tanpa harus
mendapatkan pengakuan atas usaha dan perjuangannya dari zaman Indonesia belum
merdeka hingga Indonesia merdeka dan telah berganti zaman kepemimpinan.
Konsistensi beliau adalah hal yang sangat luar biasa. Keputusan beliau untuk
tidak naik kembali sebagai Wakil Presiden RI sangat disayangkan namun juga
sangat dihargai. Karena itu mengindikasikan bahwa beliau adalah sosok pemimpin
yang bijak dalam mengambil keputusan tidak hanya berdasarkan materi belaka.
Gaya kepemimpinan Sri
Sultan Hamengku Buwono ditularkan dalam buku yang berjudul “Inspiring Prophetic
Leader” yang diterbitkan oleh Kesultanan Yogyakarta mengulas tentang gaya
kepemimpinan Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang bisa kita jadikan teladan pemimpin
bangsa ini yang sudah mulai kehilangan arah akan perjuangan bangsa dan “haus”
akan sosok pemimpin yang ideal.
Sumber :
Drs. Ulbert Silalahi, M.A .1989.Studi Tentang Ilmu Administrasi. Bandung :
Sinar Baru Algesindo
Felix A. Nigro & Llyod G. Nigro. 1989. Adminitrasi Publik Modern Terjemahan. Yogyakarta : Palmall
Tidak ada komentar:
Posting Komentar